Indonesia perlu mengantisipasi terhadap perubahan zaman dalam industri batu bara yang menunjukkan tren penurunan secara global. Dalam seminar bertajuk Sunset PLTU dan Industri Batubara, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyampaikan bahwa batu bara saat ini mengalami penurunan signifikan.
“PLTU baru di negara-negara di luar Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD, kecuali Tiongkok, telah mengalami penurunan drastis dalam 10 tahun terakhir,” tutur Fabby, dikutip dari kanal Youtube IESR Indonesia pada Rabu (27/9/2023).
Pada 2019, proyek PLTU yang direncanakan mencapai 181 gigawatt (GW), tetapi pada 2022, angka tersebut turun tajam menjadi 85 GW. Sedangkan, data tahun 2023 masih menunggu konfirmasi.
Baca Juga: Aksi Dekarbonisasi Bisa Selamatkan Masa Depan dengan Pensiunkan PLTU Batu Bara
Salah satu faktor penurunan ini adalah berkurangnya pendanaan dari bank-bank sejak 2019 untuk pembangunan PLTU baru. Sebagian besar pembangunan PLTU dalam dekade terakhir didanai oleh China. Namun, sejak Oktober 2019, China tidak lagi memberikan dana untuk pembangunan PLTU di luar China, mengakibatkan penurunan proyek PLTU yang direncanakan karena kurangnya sumber pendanaan.
Fabby menjelaskan bahwa dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi perubahan iklim, banyak negara, termasuk China dan India sebagai konsumen batu bara terbesar di dunia, beralih ke energi terbarukan.
“Pertumbuhan energi terbarukan terus meningkat dari tahun ke tahun. Di beberapa negara maju OECD dan Asia Tenggara, beralih ke gas juga menjadi pilihan,” jelas Fabby.
Negara-negara seperti AS dan Eropa menunjukkan bahwa harga listrik dari energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan dengan batu bara.
Baru-baru ini, International Energy Agency memperkirakan akan terjadi penurunan konsumsi batu bara secara global sebesar 11% pada tahun 2030. Namun, beberapa negara masih mengalami peningkatan konsumsi batu bara karena proyek-proyek PLTU baru yang masih berjalan.
Masa hidup PLTU batu bara sendiri diperkirakan hanya akan berlangsung hingga 2025-2030, sehingga setelah periode tersebut, konsumsi batu bara akan semakin berkurang.
Lebih lanjut, Fabby menyampaikan bahwa IESR memproyeksikan permintaan batu bara domestik akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan kemudian akan mengalami penurunan yang signifikan.
Pemerintah telah memutuskan untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan PLTU baru kecuali yang sudah direncanakan. Saat ini, terdapat 13,6 GW PLTU yang akan dibangun karena sudah ada kontrak. Namun, keberlangsungan pembangunan seluruhnya masih menjadi pertanyaan, terutama bagi beberapa PLTU yang dimiliki oleh investor dari Tiongkok.
“Kajian IESR melihat kira-kira ada potensi sekitar 4-5 GW PLTU itu tidak bisa mendapatkan pendanaan dari Tiongkok,” terangnya.
Baca Juga: IESR Sebut Transisi Batu Bara ke Energi Terbarukan Berdampak ke Ekonomi Daerah Penghasil
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nevriza Wahyu Utami
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement