Bursa Karbon Indonesia baru-baru ini terlihat lesu. Mulai dari minim transaksi bahkan nihil dalam beberapa waktu terakhir sampai akhirnya mencatatkan transaksi Rp974.400 di Rabu (4/10).
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman buka suara terkait dengan hal tersebut, ia mengatakan bahwa hal ini terbilang wajar karena sifat pasar karbon sendiri berbeda dengan sifat pasar reguler.
Baca Juga: Sukseskan Transisi Energi Menuju Nol Emisi Karbon, Ini Strategi Kementerian ESDM
Minimnya likuiditas pasar sampai dengan partisipasi pengguna jasa muncul dari jenis pasar karbon yang tengah berkembang di Indonesia. Menurutnya transaksi atau penggerakan besar terjadi dalam pasar wajib alias mandatory.
“Memang kalau kita bicara bursa karbon kita, hari ini terus terang pasarnya pasar voluntary. Market besarnya memang saat ini ada di pasar mandatory/allowance,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (4/10).
Iman menuturkan bahwa terdapat empat jenis pasar dalam bursa karbon yang juga berkontribusi terhadap mengapa sepinya pergerakan market. Ini karena tiap pasar memiliki karakteristik masing-masing.
“Kenapa sepi? Pasar karbon di kita ini ada empat. Pasar reguler, pasar negosiasi, ditambah pasar lelang atau auction dan terakhir adalah pasar marketplace macam Tokopedia,” jelasnya.
Baca Juga: PIS Siapkan Strategi Turunkan Emisi Guna Dorong Indonesia Jadi Poros Karbon Dunia
Karakteristik paling menonjol adalah bagaimana pergerakan transaksi dari bursa hijau ini. Iman mengatakan bahwa mayoritas pembelian dalam bursa karbon cenderung buy and hold. Berbeda dengan pasar saham reguler yang cenderung buy and sell.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Aldi Ginastiar
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement