Pengamat Kritik Soal Keputusan Menteri Jokowi Terkait Aturan Kegiatan Usaha di Kawasan Hutan
Surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memuat data dan informasi kegiatan usaha yang terbangun di kawasan hutan tanpa perizinan di bidang perkebunan (SK DATIN) dinilai berpotensi menimbulkan intimidasi terhadap para pelaku usaha perkebunan, baik perusahaan maupun petani sawit.
Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Hukum Universitas Al Azhar Jakarta, Dr Sadino mengatakan pihak pelaku usaha perkebunan selaku subyek hukum dalam SK DATIN tersebut, tidak pernah dimintai penjelasan berupa pemanggilan klarifikasi maupun verifikasi sehingga dapat saling menjelaskan tentang sumber perizinan dari usaha yang dimiliki dan juga status kawasan yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan perkebunannya.
Baca Juga: Menilik Profit Limbah Kelapa Sawit Jadi Co-Firing Biomassa
Hingga saat ini, lanjut sadino telah dikeluarkan SK DATIN I — XV yang mencakup banyak subyek hukum dengan luas perkebunan sawit yang sangat luas. Isi SK DATIN tersebut berisi subyek hukum, jenis kegiatan, lokasi kegiatan yang meliputi wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang, luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja.
Sadino menjelaskan, setelah diterbitkan SK DATIN oleh Menteri LHK, maka selanjutnya Sekretaris Jenderal KLHK selaku Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian Implementasi Undang-Undang tentang Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Satlakwalda-UUCK) segera menerbitkan surat, hal kelengkapan data Permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) melalui Skema PP No. 24 Tahun 2021.
“Jika diperhatikan dari SK DATIN dan Surat Satlakwalda-UUCK, maka secara prosedur harusnya dapat dikoreksi, mengingat pada saat dimasukkan ke SK DATIN tidak dilakukan klarifikasi terlebih dahulu,”tegasnya.
Padahal, ujar Sadino, dengan adanya SK DATIN, telah menempatkan posisi subyek Hukum baik pelaku usaha dari perusahaan maupun non perusahaan yang telah dicantumkan di dalam SK Datin bersangkutan, sudah dapat menimbulkan akibat hukum bagi mereka.
“Pencantuman nama-nama subyek hukum tersebut telah memposisikan subyek hukum tidak patuh hukum dan dianggap telah melanggar hukum, sehingga subyek hukum menerima dampak dari adanya pencantuman subyek hukum dalam SK DATIN,” tambahnya.
Menurut Sadino, SK DATIN yang selain memuat subyek hukum juga memuat jenis kegiatan, lokasi kegiatan (wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang), luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja dilakukan secara sepihak dan diumumkan melalui surat yang tersebar kepada berbagai pihak seharusnya perlu dikoreksi terlebih dahulu karena isi SK DATIN bisa saja tidak sesuai dengan data pelaku usaha perkebunan.
“Pola pencantuman secara kelompok dalam satu SK DATIN tentunya dapat dikatakan merugikan pelaku perkebunan. Seharusnya secara administratif dapat ditempuh dengan pola interaksi pemanggilan sehingga ada fairness dalam pemuatan DATIN sebelum dimasukkan SK DATIN. Semua adalah pekerjaan pejabat pemerintah dan seyogianya dilakukan secara patut menurut hukum,” katanya.
Menurut dia, perlu dicermati pula bahwa data yang dimasukkan dalam SK DATIN hanya memuat data sepihak oleh KLHK. Padahal, pelaku usaha perkebunan mempunyai data yang berbeda dengan data DATIN mengingat kondisi di lapangan yang berbeda.
“Kondisi di Provinsi Sumatera Utara sangat berbeda dengan Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Provinsi lainnya. Begitu juga di Kalimantan kondisi lahan perkebunan di Kalimantan Barat berbeda dengan Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan juga Kalimantan Utara. Begitu di Sulawesi dan lainnya,” katanya.
Baca Juga: Memanfaatkan Hutan Luas, Bursa Karbon Merupakan Upaya Mencapai NZE
Bahkan, tambahnya, pelaku usaha perkebunan yang sudah memiliki HGU saja sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga dimasukkan dalam SK DATIN. Tentu Data yang ada dalam SK DATIN berpotensi merugikan pelaku perkebunan kelapa sawit.
Menurut Sadino, dari berbagai informasi yang diperoleh terungkap bahwa para pelaku usaha perkebunan telah secara sepihak dimasukkan dalam Data SK DATIN dan cenderung dipaksa untuk mengikuti Skema PP 24 tahun 2021.
“Bagaimana mungkin HGU yang sudah ada sebelum UUCK harus mengikuti skema PP 24/2021? Bagaimana mungkin masyarakat transmigran dan masyarakat lokal yang sudah mempunyai hak atas tanah seperti SHM, hak garap, hak kelola, hak adat, tempat tinggal yang turun temurun dan lainnya harus mengikuti skema PP 24/2021 yang dinilai membebani karena biayanya mahal,”tanyanya.
Dalam penilaian Sadino, skema PP 24/2021 telah menabrak dan mengabaikan hukum-hukum lain yang berlaku di Indonesia yang sifatnya universal. Skema PP 24/2021 adalah cacat lahir dan melebihi wewenang sebagai ciri kas dari turunan UUCK yang menyimpang karena telah mengabaikan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut dia, seharusnya skema penyelesaian kebun sawit mengikuti pola self-reporting dan jika diperlukan pendalaman bisa dilakukan seperti peradilan semu yang membuka ruang untuk saling berargumen, klarifikasi dan verifikasi terkait SK DATIN dengan data pelaku usaha, sehingga dapat saling menjelaskan. Tidak seperti sekarang ini semuanya diserahkan ke Timdu (Tim Terpadu) dan subyek hukum tidak dilibatkan dalam Timdu.
Baca Juga: Kementerian ATR Jamin Legalitas HGU Sawit
“Timdu dasar kerjanya SK KLHK tidak bersifat obyektif dalam melihat hukum yang berlaku di luar hukum-hukum kehutanan. Hukum kehutanan sendiri tidak dipahami apalagi hukum di luar bidang kehutanan pasti akan diabaikan dan hasilnya potensi tidak diterima oleh pelaku perkebunan,” paparnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement