Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Matangkan Sejumlah Regulasi, Indonesia Yakin Optimalkan Ekonomi Karbon

Matangkan Sejumlah Regulasi, Indonesia Yakin Optimalkan Ekonomi Karbon Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia telah menyiapkan seluruh regulasi dan perangkatnya untuk bisa memanfaatkan Nilai Ekonomi Karbon (Carbon Pricing). Hal ini menjadi bagian dari upaya mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca seperti yang telah dicantumkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi menjelaskan Indonesia telah menyampaikan dokumen NDC kepada Sekretariat Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2016 bersamaan dengan ratifikasi kesepakatan perubahan iklim Perjanjian Paris pada tahun 2016.

Baca Juga: Prediksi Nasib Ekonomi Indonesia, Ini Wejangan Founder Mayapada

Kemudian, Indonesia menyampaikan Update NDC dan pada tahun 2022 kembali menyampaikan dokumen Enhanced NDC. Dalam dokumen Enhanced NDC, target pengurangan emisi GRK Indonesia ditingkatkan menjadi 31,89% dengan upaya sendiri atau 43,20% dengan dukungan internasional.

"Sekarang kami mempersiapkan Second NDC dengan target yang lebih ambisius, lebih tinggi. Itu sebabnya carbon pricing dipercaya untuk menjadi mekanisme yang efektif untuk memenuhi target tersebut," kata Laksmi saat membuka diskusi panel bertajuk 'Implementation of Indonesia’s Standard for Carbon Market' di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP28 UNFCCC, Dubai, Uni Emirat Arab, kemarin.

Menurut Laksmi dalam pemanfaatan carbon pricing, Indonesia telah memiliki Peraturan Presiden No 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk Pencapaian Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional.

Sebagai payung dari carbon pricing, Perpres NEK menyediakan 4 mekanisme yaitu perdagangan emisi atau carbon offset, kemudian Result Based Payment (RBP), Pajak Karbon, dan mekanisme ilmiah lainnya sesuai dengan metodologi ilmu pengetahuan atau kombinasi mekanisme yang sudah ada.

"Dalam mekanisme carbon pricing, kami tidak hanya merujuk pada Artikel 6 Paris Agreement, tetapi juga pada Artikel 5. Karena keduanya sama penting," katanya. Laksmi menjelaskan lebih lanjut, dalam pelaksanaan carbon pricing, Indonesia telah mengembangkan Sistem Registri Nasional (SRN). Indonesia juga telah mengembangkan instrumen berupa Sertifikat Penurunan Emisi (SPE).

"Untuk memastikan skema ini berjalan secara transparan, inklusif, dan memiliki integritas, kami bekerja sama dengan BSN dan KAN untuk akreditasi Lembaga Verifikasi dan Validasi," katanya.

Laksmi menegaskan, pengembangan skema carbon pricing Indonesia sejalan dengan prinsip yang diusung oleh UNFCCC yaitu TACCC Principles yang terdiri dari Transparency, Accuracy, Consistency, Comparability and Completeness," ujarnya.

Baca Juga: Hijau dan Biru, Dato Sri Tahir Bongkar Dua Potensi Ekonomi Baru di Indonesia

Ia pun berharap pengalaman Indonesia bisa menjadi inspirasi dalam pengembangan skema carbon pricing-nya sendiri demi mendukung pengurangan emisi GRK.  Hadir sebagai panelis pada sesi tersebut Analis Kebijakan Senior KLHK Syaiful Anwar, Lead Assesor Komite Akreditasi Nasional Rustiawan Anis, Analis Badan Standardisasi Nasional Esti Prameti, dan analis Mitsubishi UFJ Research and Consulting, Jepang Tatsushi Hemmi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: