Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Politisasi Bansos Era Jokowi, Gejala Otoritarianisme Baru?

Politisasi Bansos Era Jokowi, Gejala Otoritarianisme Baru? Kredit Foto: JIEP
Warta Ekonomi, Jakarta -

Guru Besar Ekonomi Universitas Paramadina Didin S. Damanhuri memberikan kritikan pedas terkait dengan semakin masifnya pembagian bantuan sosial atau bansos jelang ajang dari Pemilihan Umum (Pemilu). Ia mengatakan hal tersebut bahkan sudah menjadi alat politik di Indonesia.

Didin mengatakan, pembagian bansos nyatanya tidak memberikan hasil yang diharapkan seperti penekanan angka dari kemiskinan. Ia justru menjadi alat untuk mendulang suara saat pesta demokrasi.

Baca Juga: Kaesang Legowo Kalau Jokowi Menjadi Ketumnya PSI

“Jadi, semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar itu pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat, nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda Bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang Pilpres 2024,” ungkapnya dalam diskusi daring melalui kanal YouTube Universitas Paramadina, Rabu (7/2).

Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga menjadi salah satu biang politisasi yang terjadi akan bansos. Didin mengatakan, presiden seharusnya menyerahkan pembagian bantuan kepada menteri-menterinya dalam kabinet.

“Yang membagikan Bansos adalah Jokowi sendiri, dan bukannya Menteri Sosial. Padahal kuasa pemegang anggaran Menteri Sosial yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit. Bahkan tidak mendampingi Jokowi ketika bansos dibagikan,” jelasnya.

Politisasi bansos ini dikhawatirkan tumbuh dan berkembang menjadi awal mula gerakan dari neo-otoritarianism dengan puncaknya adalah sosok dari Jokowi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya gerakan pengawasan yang kuat dari parlemen terkait politisasi bansos.

“Indikasinya parlemen yang pro kekuasaan semula 65% menjadi 85% pro kekuasaan. Setelah itulah terjadi pelumpuhan mekanisme check and balance di parlemen dalam mengontrol proses legislasi dan lainnya, sehingga ada 8 Undang-undang yang konon bukan merupakan kepentingan rakyat banyak seperti UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, UU Kesehatan dan lainnya,” ungkapnya.

Di sisi lain, pengawasan yang dilakukan akademisi juga perlahan mulai dibungkam dengan kekuatan buzzer dan influencer. Didin melihat hal ini sebagai bagian dari konstruksi politik Otoritarian.

Baca Juga: Ditanya Soal Arah Dukungan, Jokowi: Sejak Dulu ,Senang PSI

“Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. Itulah yang disebut gejala Otoritarianisme Baru,” jelasnya

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Aldi Ginastiar
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: