"Bayangkan itu cuma satu pemohon, sekarang dua pemohon, lho, bukan cuma satu. Dan sekarang juga bobot dugaan kecurangannya besar sekali. Menurut saya ini adalah Pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia," tegas dia.
Baca Juga: Pengelolaan Keuangan Masih Menjanjikan usai Pilpres 2024
Di samping itu, Bivitri juga menilai pembatasan jumlah saksi dan waktu pemaparan yang tak cukup untuk mengungkap dugaan kecurangan. Dengan 19 orang saksi dan 15 menit pemaparan, kata dia, tak cukup untuk pendalaman materi gugatan.
Begitu juga dengan waktu pemaparan yang diberikan untuk saksi ahli 20 menit, dia menilai MK seolah dikerangkeng berita acara. Mestinya, kata dia, MK memperlakukan teknis di luar dari berita acara.
"Itu, ya, mungkin (memaparkan 15 hingga 20 menit), tetapi nanti mendapatkan hal yang seharusnya kita cari di luar kerangkeng itu. Itu yang saya maksud dengan tidak mungkinnya dalam hal itu. Mungkin enggak? Ya, mungkin tetapi nanti sama aja kayak teman-teman enggak puas, 'aduh konferensi persnya cuma segini, enggak sempat nanya' itu yang akan terjadi seperti itu," ungkapnya.
Bukan hal baru mengesampingkan berita acara dengan aturan 14 hari persidangan, tutur Bivitri, lantaran aturan itu pernah dikesampingkan oleh MK pada 2003. Dia juga menilai hakim konstitusi bisa melakukannya hal yang sama dalam perkara Pemilu saat ini.
Baca Juga: HNW Soal Sidang Gugatan Pilpres: Momentum Hakim MK Buktikan Kenegarawanan
"Karena apa? UU MK yang pertama itu membatasi MK Pasal 50-nya, MK hanya boleh menguji UU yang dibuat setelah amandemen konstitusi. Nah, dia kesampingkan sendiri sehingga dia bisa menguji UU yang lain. Bayangkan kalau pasal itu enggak dikesampingkan dan kemudian dibatalkan, enggak bisa itu UU KUHP diuji, enggak bisa UU perkawinan tahun 74 diuji, enggak bisa UU lainnya yang lahir sebelum 2002 itu diuji MK," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement