Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jurnalistik Mau Dibungkam, Pakar dan Masyarakat Diam?

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes, Pemerhati Telematika & Multimedia Independen

Jurnalistik Mau Dibungkam, Pakar dan Masyarakat Diam? Kredit Foto: Rawpixel
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tulisan ini akan lebih komprehensif bilamana dibaca sesudah menyimak apa yg saya tulis kemarin: "ADA APA (APANYA) DRAFT UU PENYIARAN ?' karena Prolog permasalahan dan Background referensinya sudah ditulis disana, agar tidak mengulang kembali utk dituliskan disini. Intinya, Insan pers saat ini sedang H2C (Harap-harap Cemas), bukan H2SO4 alias SamSul (aSAM SULfat) karena Komisi-1 dan BaLeg / Badan Legislasi DPR-Ri sedang merumuskan RUU Penyiaran sebagai Revisi dari UU Penyiaran No. 32/2002, namun didalamnya "menabrak' UU Pers No 40/1999.

Kondisi hari-hari ini saya rasakan juga mirip suasana awal-awal tahun 2024 kemarin, saat saya sempat merasa "sendirian" mengkritisi KPU, khususnya SIREKAP (Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu) yg acak adit semenjak awal, bahkan kacau balau di akhir perjalanannya (karena terbukti banyak sekali kebobrokan sistem, mulai dari Program Stagging / Beta-version yg dipakai, Cloud-server disembunyikan di LuarNegeri, tepatnya Aliyun Computing (Alibaba.com Singapore), Ditemukannya JASON-script utk penyelundupan Algoritma tertentu, Peniadaan Filter di OCR/OMR-nya, Penggelembungan Paslon & Partai tertentu, hingga Penghentian tidak jelas alias Tanpa ada Tanggungjawab samasekali Siatem yg bernilai Milyaran tersebut.

Baca Juga: Ada Apa (Apanya) Draft UU Penyiaran?

Kenapa sendirian? Karena Pakar-pakar IT Republik ini yg biasanya mau tampil dan berbicara lantang mengkritisi kalau ada ketidakberesan Teknologi, tampak "diam seribu bahasa" bahkan terkesan "bersembunyi" dibalik tindakan yg diindikasikan terjadi kecurangan bahkan kejahatan teknologi tsb. Nama-nama seperti OWP, RZA, BSD dsb bak menyublin alias lenyap ditelan bumi, segendang-sepenarian dgn Kampus ternama di Bandung, tempat Bung Karno dulu menimba ilmu (semasa bernama THS / Technische Hoogeschool te Bandoeng) karena memang terlibat dengan adanya MoU dgn KPU utk pembuatan SIREKAP.

Alhamdulillah dgn perjuangan gigih melalui berbagai Platforn -dan didukung Media-media yg masih punya Etika dan Hati Nurani, bukan yg hanya ProRezim yg menunggu "cair" dan tampak "tutup mata" dgn segala bentuk penyelewengan teknologi kemarin- Akhirnya satu demi satu Pakar-pakar IT Independen mulai berani juga bersuara jujur demi kebenaran, seperti Dr Leony Lidya, Hairul Anas Suaidi Mahmud MT, Ir Agus Maksum, Ir Abi Akhmad Syarbini, Akhyar ST, Ir Jay Sofyan, Yasmin Shahab ST, Dr Soegianto, Ir Benhard Mavis Anggiat, Dr Yudi Prayudi dan beberapa nama lain yg akhirnya terus berjuang dalam Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI).

APDI sampai dgn saat ini juga terus bergerak utk menyampaikan kebenaran dan bersuara lantang, karena sampai kapanpun seorang Akademisi dan Peneliti sejati akan terus mengkritisi bilamana ada hal-hal yg memang tidak benar. Prinsip yg dipakai masih tetap sama dan berlaku universal, yakni "Ahli bisa saja ada kesalahan (mungkin akibat alat ukur atau teori yg dipakai sudah tergantikan oleh inovasi yg lain), namun demikian Ahli tetap harus berkata jujur apa adanya, tidak boleh bohong apalagi melindungi ketidakbenaran dgn menggunakan teknologi". Prinsip tegas ini InsyaaAllah menjadi pegangan yg tetap terus dijaga sebagaimana sudah dilakukannya sejauh ini, meski dengan resiko yg pasti terjadi dan harus terus dihadapi.

Bentuk nyata dari Perjuangan sejati para Pakar Independen dalam APDI tsb adalah dgn segera menggelar rangkaian "Road Show NoBar Film DIRTY ELECTION" dan Diskusi "Membongkar Aktor Intelektual Kejahatan Pilpres 2024" bersama Forum API / Alumni Pendidikan Tinggi Indonesia Perubahan dan TPDI diberbagai Kampus / Kota. Dimulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya dan daerah=daerah lain yg sedang direncanakan. Kegiatan pertama akan diselenggarakan bertepatan dgn Hari Kebangkitan Nasional (Senin, 20/05/24 pukul 13.00 WIB) bertempat di HEYOO Coffee Jl.Pierre Tendean 41, Jakarta Selatan.

Sebenarnya apa yg dilakukan oleh Para pakar independen ini secara prinsip mirip dgn yg sudah sering juga dilakukan oleh Para jurnalis kita dgn membuat berbagai Tayangan Liputan investigatif. Tayangan-tayangan cerdas dan mengedukasi masyarakat tsb dibuat tidak dgn asal kejar tayang namun melalui proses Riset dan Analisis Ilmiah sebelumnya, karena tidak jarang pembuatannya juga melibatkan para pakar dibidangnya sehingga saling sinergi. Judul-judul acara tayangan investigatif yg tayang di TV nasional kemarin sudah saya tulis seperti SiGi, Realitas, Telusur, Berkas dsb dan ada juga yg menggunakan nama Anchor/Host-nya (Aiman, AFD, Rosi, Ni Luh, Rully dsb). Semuanya merupakan Karya Jurnalistik Investigatif menarik yg layak diapreasiaai, bahkan menjadi Judul Film yg bisa ditonton melalui YouTube seperti Sexy Killer, Dirty Vote dsb.

Masalahnya dalam RUU Penyiaran yg sedang dibahas sekarang mendadak (di) muncul (kan) ide kontroversial utk membatasi bahkan bisa disebut melarang  jenis Jurnalistik Investigatif diatas. Padahal kalau pembuatan RUU adalah utk antisipasi terhadap munculnya Teknologi baru yg belum diatur oleh UU sebelumnya, itu wajar dan justru harus dilakukan, misalnya ttg Penyiaran digital, khususnya layanan OTT / Over The Top, UGC / User Generated Content, bahkan AI / Artificial Intelligence yg kini mulai marak. Namun kalau dibuat justru utk menghambat kehidupan media yg sudah berjalan benar sebagai "The fourth pillar of democrazy" bersanding dgn kekuatan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, hal tsb menjadi salah dan patut dipertanyakan Ada apa dibaliknya. 

Kalaupun Revisi harus dilakukan karena adanya perubahan bentuk atau lembaga penyiaran, misalnya Penggabungan LPP / Lembaga Penyiaran Publik RRI & TVRI (menjadi RTRI) dalam Pasal 15A (1) hal tsb-pun masih bisa dimaklumi. Namun terkait dgn jurnalistik Investigasi, mendadak RUU ini memuat  Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yg melarang media menayangkan siaran ekslusif jurnalistik investigasi (?).).Tak hanya itu, RUU ini juga disisipkan Pasal 42 ayat 2 yg mengatur soal penyelesaian sengketa pers di KPI / Komisi Penyiaran Indonesia.Hal ini jelas tumpang tindih dengan UU Pers No 40/1999 yg menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Secara lebih detail saya tuliskan disini Pasal-pasal RUU Penyiaran (berdasar bukti versi 27/03/2024) yg Kontroversial tsb: 1. Pasal 42 ayat 2 (tumpang tindih dengan UU Pers No 40/1999) karena di RUU ini berbunyi "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." 2. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) (melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi) yg berbunyi "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:dst (c.) Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi".

Kemudian yg ke 3. Pasal 50B ayat 2 huruf k (larangan konten siaran yg mengandung penghinaan & pencemaran nama baik, padahal sudah ada di UU ITE) "Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yg mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.". 4. Pasal 51 huruf E (Penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan, tumpang tindih lagi dgn UU Pers No 40/1999) "Sengketa yg timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan"

Baca Juga: Kelas BPJS Dihapus Jokowi, Habib PKS Singgung Soal Pelayanan: Harus Ada Jaminan Kesamaan Pelayanan

Kesimpulannya, inilah RUU yg jelas dalam konsiderannya tidak melihat bahwa sudah ada UU lain yg mengatur hal tsb sebelumnya, dalam hal ini UU Pers No. 40/1999 dan UU ITE No 01/2024 (Revisi dari UU No 08/2008 dan No 19/2016), maka dalam proses Harmonisasi di BaLeg seharusnya ditolak atau dihilangkan. Namun saya sekalilagi juga prihatin, kemana Pakar-pakar komunikasi sekarang ini? Mengapa mereka mirip-mirip Pakar IT yg "bungkam seribu bahasa" ketika ada SIREKAP? Jangan sampai masyarakat suudzon dgn melihat kondisi bisu-nya mereka dan menduga-duga ada hal yg negatif. Bangsa ini lagi jeblok Indeks Demokrasinya sampai ke titik nadir, kalau Media juga sudah dibungkam utk tidak lagi bisa menayangkan Jurnalisme Investigatif, mau dibawa kemana Indonesia (C)emas 2045 ...?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: