Suku Bunga Naik dan Harga Komoditas Meroket, Masyarakat Makin Tercekik
Kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan, terutama bagi para pekerja di sektor formal. Banyak keluhan yang mencuat, seperti di media sosial terkait dengan tekanan ekonomi yang semakin meningkat.
Hal ini disampaikan Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto. Eko menyebut pengeluaran untuk kebutuhan pokok contohnya pangan, pendidikan, dan kesehatan terus meningkat, sementara pendapatan tetap stagnan.
Bagaimana situasi ini bisa dievaluasi dan apa dampaknya ke depan?
Tahun 2024 merupakan periode yang penuh tantangan bagi kelas menengah. Inflasi yang meningkat menyebabkan harga kebutuhan pokok melonjak.
Data dari Mandiri Spending Index menunjukkan bahwa pada Mei 2024, porsi penghasilan yang digunakan untuk kebutuhan makanan dan minuman naik hingga 26%, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, pendapatan masih cenderung stagnan, menyebabkan daya beli masyarakat tertekan.
Menurut Eko salah satu faktor yang menahan ekspansi sektor formal adalah lingkungan ekonomi global dan nasional yang tidak mendukung. Geopolitik yang memanas dan tingkat suku bunga yang naik membuat dunia usaha kesulitan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Selain itu, bahan baku yang semakin mahal juga menjadi beban tambahan bagi masyarakat kelas menengah.
Sang Analis ini mengamati keluhan masyarakat melalui big data dari media sosial. Mayoritas pengguna media sosial yang merupakan kelas menengah muda dan produktif, sering mengeluhkan tingginya harga kebutuhan pokok.
Baca Juga: BI: Suku Bunga Perbankan Terjaga Seiring Kenaikan BI Rate
"Keluhan ini mencerminkan realita di lapangan dan didukung oleh data makro lainnya, seperti penurunan tingkat simpanan di bank pada beberapa bulan terakhir," ucap Eko, sebagaimana yang dimuat dalam kanal YouTube CNBC Indonesia, Senin (27/05).
"Jika pemerintah tidak segera mengambil kebijakan yang tepat untuk mengelola daya beli kelas menengah, risiko terbesar adalah tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini adalah 5,2%, namun konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,92% di triwulan pertama," lanjut Eko.
Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, kata Eko target pertumbuhan ekonomi mungkin tidak tercapai dan ini dapat meningkatkan tingkat kemiskinan dan pengangguran.
Eko melanjutkan, fenomena libur panjang juga menimbulkan diskusi tentang dampaknya terhadap produktivitas dan daya beli masyarakat.
"Meskipun libur panjang bisa mendorong konsumsi, dalam kasus ini, momen libur terlalu berdekatan dengan lebaran, sehingga konsumsi tidak meningkat secara signifikan. Di sisi industri, terlalu banyak libur menurunkan produktivitas, yang akhirnya merugikan perekonomian secara keseluruhankeseluruhan," tutup Eko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Naeli Zakiyah Nazah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement