Mau Kaya, Jadilah Pengusaha!
Oleh: Theodorus Widodo, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) NTT.
Pengalaman mengajar mata kuliah Kewirausahaan selama bertahun tahun membawa saya pada satu kesimpulan. Lingkungan anak muda kita masih sangat jauh dari dunia usaha. Bagi mereka, jadi pebisnis adalah sesuatu yang mustahil. Dunia usaha seperti sebuah negeri antah berantah entah di mana yang hanya ada dalam mimpi dan tidak mungkin terjangkau.
Itu sebabnya nyaris tidak ada mahasiswa yang ketika ditanya, apa keinginannya setelah lulus nanti, jawabannya ingin jadi wirausahawan.
Semua itu terjadi, lantaran selain umumnya mereka bukan dari keluarga pengusaha, pengalaman masa kecil hingga dewasa telah membentuk pola pikir mereka untuk tidak jadi pengusaha.
Dalam berbagai acara ketika seorang anak ditanya ingin jadi apa kelak, jawabannya selalu hanya mau jadi polisi, tentara, guru, dokter, pilot, nahkoda dan lain lain. Tidak ada yang bilang saya mau jadi pengusaha. Dan jawaban ini selalu diamini serta dipuji pembimbing mereka.
Orang tua pun sami mawon. Mereka tidak pernah mengajari anak anaknya tentang adanya satu profesi lain selain profesi-profesi diatas yang akan mampu membangun masa depan si anak jauh lebih baik dari sisi finansial. Profesi itu namanya wirausaha. Jarang ada orang tua yang memotivasi anak untuk berbisnis yang sebenarnya akan menghasilkan pendapatan yang jauh lebih tinggi ketimbang profesi lainnya.
Dari daftar seratus orang kaya di Indonesia versi majalah Forbes, pasti semuanya hanya dari kalangan pengusaha. Tidak ada di situ yang dari profesi lain. Begitu pula daftar orang kaya di belahan bumi manapun di dunia.
"Salah cita-cita" ini juga akibat dari sistem pendidikan di negeri ini yang menciptakan lulusan yang pola pikirnya hanya siap kerja sebagai seorang profesional. Bukan sebagai pebisnis. Pendidikan di bumi nusantara yang kaya sumber daya alam ini hanya menciptakan kaum profesional yang siap kerja sesuai bidang studi yang ditekuni selama menjalani masa pendidikannya.
Mahasiswa jurusan teknik sipil, misalnya. Anak anak muda ini hanya diajar bagaimana setelah lulus nanti jadi perencana, pelaksana lapangan, site manager, project manager atau apapun yang baik yang semuanya hanya terkait sektor jasa konstruksi. Mereka hanya diajari setelah lulus nanti jadi orang gajian, bukan pemilik perusahaan yang menggaji orang lain.
Seorang mahasiswa fakultas keguruan ilmu pendidikan hanya diajari bagaimana kelak jadi guru yang baik, yang mengajar sesuai bidang studi yang ia tekuni selama tahun tahun ia berada dibangku kuliah. Tidak dimotivasi bagaimana setelah lulus nanti punya lembaga pendidikan sendiri yang bisa mempekerjakan para pendidik. Sekecil apapun lembaga pendidikan itu.
Seorang mahasiswa kedokteran hanya diajari bagaimana jadi dokter yang baik, yang bisa mengobati pasiennya agar sembuh. Mereka tidak dimotivasi agar kelak setelah jadi dokter perlu membangun klinik atau rumah sakit mereka sendiri. Obsesi yang terbangun selama pendidikannya nyaris hanya satu. Setelah lulus, praktek, kuliah lagi jadi dokter spesialis, praktek lagi, kuliah lagi jadi dokter sub-spesialis, lalu praktek lagi. Itulah mimpi masa depan yang terbangun dalam diri seorang calon dokter selama menjalani masa pendidikannya.
Kesan negatif atas pengusaha yang hanya mau untung sendiri, yang pelit, yang rakus duit, yang tega'an dan masih banyak kesan buruk lainnya melengkapi stigma yang melekat pada diri seorang pengusaha.
Maka jadilah dunia usaha ini distopia bagi mahasiswa kita. Mereka tidak mau masuk dalam dunia yang buruk.
Padahal salah satu syarat penting bagi sebuah negara yang ingin maju kata Buckminster Fuller adalah di sana harus ada banyak entrepreneur. Selain si pengusaha sendiri pasti lebih mampu secara finansial, ia juga akan bisa menciptakan banyak lapangan kerja.
Jepang misalnya. Di Jepang yang terkenal sebagai negeri manufaktur saat ini memiliki lebih dari 10 % pengusaha. Dan kita tahu betapa maju dan kayanya negeri sakura ini. Begitu pula Amerika Serikat yang punya 12 % pengusaha dari jumlah populasinya. Juga negara kaya lain seperti Singapura yang memiliki 7% pengusaha. Atau negeri jiran Malaysia yang jumlah entrepreneur-nya mencapai 5 %.
Juga di China, salah satu negara termaju di dunia yang sistem ekonominya baru saja jadi setengah kapitalis. Di China ada lebih dari 14 % atau 196 juta diantara 1,4 miliar penduduknya yang jadi pengusaha.
Baca Juga: Masalah Kunci Tapera, Bukan Sosialisasi ke Pekerja atau Pengusaha
Lalu berapa persen pengusaha yang ada di Indonesia?
Menurut Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, di Indonesia hanya ada 1,65 % pengusaha. Suatu jumlah yang masih sangat minim.
Pertanyaannya, berapa persen sebaiknya jumlah wirausahawan agar sebuah negara bisa maju?
Menjawab pertanyaan ini, Donald Trump dalam sebuah dialog interaktif di CNN pernah menyebut angka minimal 5%. Ia menjelaskannya secara rinci, sederhana dan masuk akal.
Jika ada 5 % penduduk yang jadi pengusaha, maka dari seratus penduduk, ada lima di antaranya yang jadi pengusaha. Lima pelaku usaha ini rata rata mampu mempekerjakan lima orang karyawan. Maka ada 25 orang karyawan yang bekerja di lima perusahaan milik kelima pengusaha tersebut.
Sebanyak 25 karyawan tersebut akan mampu membiayai hidup tiga orang dalam keluarga masing masing. Mereka adalah satu istri jika si suami yang bekerja, atau satu suami jika si istri yang bekerja. Plus dua anak dalam keluarga. Maka ada 75 orang yang mampu dibiayai hidupnya.
Dengan 25 karyawan dan 75 anggota keluarga, lengkap sudah 100 orang atau 100 % penduduk yang mampu tercukupi kebutuhan hidup termasuk kesehatan, pendidikan dan lain lain. Plus tentunya di situ ada lima pemilik usaha yang pasti punya kemampuan finansial diatas rata-rata.
Karena itu apa yang harus kita lakukan untuk kemajuan ekonomi Indonesia?
Tumbuh-kembangkan sebanyak mungkin entrepreneur baru. Ciptakan ekosistem yang membuat siapapun tertarik untuk jadi pengusaha. Pemerintah kurangi regulasi apapun terutama menyangkut perizinan.
Bebaskan pajak bagi para entrepreneur baru. Biarkan para entrepreneur baru itu tumbuh dan berkembang. Perbankan naikkan batas maksimal pinjaman tanpa agunan. Pengusaha menengah dan besar jadilah bapak angkat bagi UMKM. Pokoknya semua stakeholder dunia usaha harus bergerak bersama menumbuh-kembangkan para entrepreneur baru.
Hanya dengan cara itu kita bisa tambah jumlah entrepreneur baru.
Hanya dengan cara itu kita bisa mengejar ketertinggalan dari negara negara maju di dunia.
Bisa? Pasti bisa. Asalkan ada komitmen.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement