Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Meski Lahan Lebih Luas, Produktivitas Sawit Indonesia Kalah dari Malaysia

Meski Lahan Lebih Luas, Produktivitas Sawit Indonesia Kalah dari Malaysia Petani kelapa sawit | Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
Warta Ekonomi, Jakarta -

Produktivitas kelapa sawit Indonesia menjadi sorotan setelah mencatatkan produksi yang lebih rendah dibandingkan negara tetangga, Malaysia.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dari Oil World, produktivitas sawit Indonesia tercatat di level 3,31 ton CPO per hektar per tahun pada 2022. Angka ini masih di bawah produktivitas sawit Malaysia yang mencapai 3,56 ton CPO per hektar per tahun.

Ironisnya, luas lahan sawit Indonesia tiga kali lipat dari Malaysia. Badan Pusat Statistik (BPS) RI mencatat luas kebun sawit Indonesia mencapai 15,4 juta hektar pada 2023, sementara Malaysian Palm Oil Board (MPOB) mencatat luas lahan kebun sawit Malaysia hanya 5,65 juta hektar.

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas sawit Indonesia adalah minimnya peremajaan sawit. Ketua Kompartemen Media Relation GAPKI, Fenny Sofian, mengatakan peremajaan tanaman kelapa sawit menjadi hal krusial bagi pemerintah dan swasta untuk segera dilakukan. Terlebih, konsumsi dalam negeri yang besar mengharuskan produksi dan produktivitas sawit juga meningkat dengan tanaman sawit yang produktif.

"Edukasi terkait peremajaan sawit di kalangan petani itu perlu. Perusahaan juga agar konsisten melakukan replanting," ujar Fenny pada Kamis, 4 Juli 2024.

Baca Juga: BPDPKS Resmikan Ruang Imersif di Museum Perkebunan Indonesia, Jadi Sarana Edukasi Kelapa Sawit

Di sisi lain, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengatakan aturan yang tumpang tindih juga menjadi penyebab terhambatnya realisasi peremajaan sawit rakyat. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyoal status kawasan hutan kepada lebih dari 3 juta hektar kebun sawit rakyat menjadi salah satu contohnya.

Khudori menambahkan, pemerintah perlu membuat suatu lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaan industri sawit, bukan hanya Badan Layanan Umum (BLU) yang hanya mengurus pungutan ekspor dan penggunaan dananya.

"Ego sektoral masih kental, masing-masing kementerian atau lembaga bersikeras pada tupoksinya, sementara tantangan yang dihadapi mesti direspon segera oleh otoritas," ucapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: