Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

EUDR Gak Fair, Gulat Manurung Dorong Uni Eropa Turun Gunung Bantu Petani Sawit

EUDR Gak Fair, Gulat Manurung Dorong Uni Eropa Turun Gunung Bantu Petani Sawit Kredit Foto: Uswah Hasanah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung, menilai bahwa penundaan implementasi Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) merupakan bentuk ‘sor sendiri’ dan hal tersebut bukanlah solusi tepat apabila tidak dibarengi dengan bantuan langsung terhadap para petani sawit.

Pasalnya, petani sawit merupakan pihak yang paling terdampak apabila EUDR ini diterapkan. Hal ini dikarenakan sebanyak 41% sawit atau sekitar 6,87 juta hektare kebun sawit Indonesia dikelola secara swadaya oleh petani.

Baca Juga: Permintaan Naik Tinggi, Harga Bibit Sawit Tercatat Meningkat

Dengan kondisi tersebut, Uni Eropa diminta agar turun langsung ke lapangan guna melakukan pembinaan terhadap petani agar bisa memenuhi (comply) aturan EUDR. Maka dari itu, dia menegaskan agar Uni Eropa tidak hanya membuat aturan sendiri tanpa melihat kenyataan langsung di lapangan.

Di sisi lain, pihaknya juga bersyukur dengan penundaan regulasi dari EUDR. Namun, Gulat menilai bahwa penundaan tersebut bukanlah resolusi yang tepat. Uni Eropa menurutnya harus turun gunung secara langsung untuk membantu petani sawit agar bisa memenuhi aturan dari EUDR.

“Itu baru fair and fine namanya. Karena paling terdampak adalah petani sawit. Kami juga sudah mengirim surat ke EU bahwa kami memahami maksud mereka tapi tidak dengan cara seperti ini karena petani sawit juga berhak dilindungi sebagaimana EU melindungi petaninya,” ujar Gulat dalam Market Review ICDX, Senin (14/10/2024).

Petani sawit, tegas Gulat, berhak dilindungi dunia dengan cara mendampingi agar petani bisa mendekati seperti yang disyarakatkan oleh EUDR tersebut. Hal ini juga ditambah dengan kondisi sawit saat ini khususnya di bagian hulu yang dinilai tertinggal jauh dibandingkan dengan sektor hilir.

Baca Juga: Menperin Optimis Hilirisasi Sawit Capai Rp775 Triliun

“Kalau data dari GAPKI produktivitas sawit kita itu stagnan, khususnya dari kebun petani sawit. Sumbangan penurunan tersebut 80 persen berasal dari petani sawit. ini menjadi tantangan besar ketika serapan nasional dan dunia meningkat tajam. Ini harus jadi pemikiran kita ke depan,” ungkapnya.

Pihaknya juga mengakui bahwa sesungguhnya masalah utama dalam menghadapi EUDR adalah berasal dari Indonesia. yakni regulasi yang cenderung negatif dan banyaknya kementerian/lembaga (KL) yang mengurusi sawit.

“Ada 37 K/L. coba bayangkan semakin runyam jadinya. Tentu dengan kondisi ini, kami petani sawit sangat berharap banyak ke Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk segera simplikasi semua keruwetan tersebut, apalagi semua anak bangsa ini tau bahwa sawit adalah komuditi strategis Indonesia,” tuturnya.

Baca Juga: Saleh Husin Luncurkan Buku 'Hilirisasi Sawit, Cegah Middle Income Trap'

Dalam kesempatan tersebut, Gulat menyebut jika Uni Eropa kerap merisak sawit Indonesia. Hal ini dibuktikan pada tahun 1990-an yang mana saat itu Uni Eropa mengkampanyekan sawit berdampak buruk bagi kesehatan. Hal ini berlanjut pada tahun 2000-an yang mana isu saat itu yang diangkat adalah sawit perusak lingkungan.

Gulat mengungkap bahwa banyak kajian deforestasi didefinisikan peralihan tutupan hutan baik hutan primer dan sekunder. Dia menilai jika definisi tersebut tidak cocok dengan Indonesia dalam konteks ekosistem alam tropika Indonesia. Dia juga menekannkan bahwa regulasi dari Uni Eropa tidak bisa dijadikan role model untuk Indonesia.

“Perubahan hutan sekunder harusnya tidak lagi dikategorikan deforestasi, itu prinsip,” ujarnya.

Saat ini, lanjut dia, total deforestasi dunia itu mencapai 230 juta hektar. Pemicu utamanya, dikarenakan peternakan sapi di Amerika seluas 55 juta ha. Sawit hanya menyumbang deforestasi sebesar 2,3 persen atau 5,2 juta ha.

Baca Juga: PT USTP Maksimalkan Potensi Lahan Marjinal Sawit Demi Produktivitas Tinggi

“Ini jauh lebih kecil dibanding perluasan kedelai sebesar 5,6 persen, 12,8 juta ha. Menurut Studi IPB, indeks peralihan kawasan hutan sejak masal kolonial itu hanya 8,9 juta ha dan itu berasal tanah terlantar, perkebunan padi, pangan dan lain-lain. Untuk saat ini sawit 62 persen dari semak, 36 persen lahan agroforestri,” bebernya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: