Kredit Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Alvin menilai kestabilan regulasi dan ketersediaan pasar PLTS di Indonesia akan menjadi faktor penentu dalam menarik investasi energi surya. Menurutnya, rencana proyek energi surya hampir 17 GW dapat menjadi landasan untuk membangun strategi dan investasi sektor ini.
“Kebijakan kuota untuk PLTS atap dan pelonggaran syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dapat memberikan dorongan signifikan dalam mendongkrak permintaan domestik. Namun, perlu sinyal kuat dari pemerintah berupa insentif dan proyek-proyek yang jelas. Tahun 2025 akan menjadi tahun kunci dalam mengevaluasi efektivitas regulasi energi surya yang ada, serta memastikan infrastruktur yang memadai untuk mendukung penetrasi energi surya dalam skala besar,” ujar Alvin.
Baca Juga: Xurya Bangun Lebih dari 100 MW PLTS
IESR mencatat bahwa investasi positif energi surya juga tampak pada rantai pasok modul surya. Hal ini berkaitan dengan keberadaan proyek strategis ekspor listrik energi terbarukan Singapura dan Indonesia. Hingga laporan ini ditulis, total kapasitas produksi modul surya yang diumumkan diperkirakan mencapai 19 GW per tahun, dengan 200.000 juta ton silikon surya dan 17 GW produksi sel surya per tahun.
IESR dalam laporan Powering the Future menekankan bahwa penyimpanan energi berperan penting dalam mentransformasi sektor ketenagalistrikan Indonesia untuk mencapai net zero emissions (NZE) 2060 atau lebih awal. Proyeksi tenaga surya dan angin mencapai 77 persen dari total kapasitas pembangkit terpasang (421 GW PLTS dan 94 GW angin) pada tahun 2060, memerlukan setidaknya 60,2 GW penyimpanan energi.
IESR menilai bahwa Indonesia masih berada dalam tahap awal adopsi penyimpanan energi sehingga diperlukan strategi yang komprehensif untuk mempercepat pengembangan ekosistem penyimpanan energi.
His Muhammad Bintang, Penulis Powering the Future 2024 dan Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik, IESR, menekankan penggunaan penyimpanan energi masih menjadi tantangan seiring lambatnya kemajuan pengembangan energi terbarukan, khususnya dari pembangkit variabel seperti PLTS dan PLTB.
“Perkembangan teknologi sistem penyimpanan energi skala kecil dipelopori oleh sektor swasta dan diikuti oleh perusahaan utilitas negara, yang berdasarkan hasil tracking IESR kapasitas totalnya berkisar 25 MWh. Di sisi lain, pengembangan skema ekspor listrik ke Singapura dapat menjadi jalan masuk mempercepat penerapan ESS dan Battery ESS (BESS) di Indonesia. Pengembangan skema tersebut diperkirakan meningkatkan kapasitas penyimpanan energi terpasang di Indonesia hingga 1.000 kali lipat, dengan kapasitas total pada 2030 mencapai 33,7 GWh,” ungkap Bintang.
IESR mendorong pemerintah Indonesia untuk mempercepat penggunaan penyimpanan energi di antaranya dengan, pertama, memperbaiki kerangka kerja peraturan dan menetapkan kepastian hukum untuk memberikan kompensasi yang sepadan bagi pengembang ESS, mengurangi risiko pengembangan, dan meningkatkan kepercayaan investor.
Kedua, mengembangkan infrastruktur dan teknologi sistem penyimpanan energi melalui pelaksanaan proyek percontohan untuk menguji berbagai opsi teknologi ESS, dan membangun ekosistem teknologi penyimpanan dan peta jalan riset dan pengembangan.
Baca Juga: Persiapkan Operator Lokal, Kementerian ESDM dan UNDP ACCES Gelar Pelatihan Teknis Pemeliharaan PLTS
Ketiga, meningkatkan aspek ekonomi proyek penyimpanan energi. Keempat, memastikan praktik penambangan dalam rangka pengembangan industri dalam negeri yang bertanggung jawab dan mempersiapkan model bisnis daur ulang serta penggunaan kembali baterai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement