- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
GAPKI Dorong Diversifikasi Ekspor Sawit Indonesia, India Jadi Target Potensial
Ketua Bidang Kampanye Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Edi Suhardi, menilai bahwa Indonesia perlu memperkuat strategi diversifikasi pasar ekspor sawit untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Uni Eropa di tengah tantangan penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang ditunda hingga Desember 2025 mendatang.
Adapun salah satu caranya yakni dengan mencari pasar-pasar di negara lain yang potensial, salah satunya India. Menurut Edi, India dinilai memiliki potensi sebagai diversifikasi tujuan ekspor sawit selain dari Uni Eropa.
Baca Juga: Siapkan Formula Rahasia, Kementan Janji Ekspor Sawit Tak Ditabrak Proyek B50
"Berbeda dengan pasar Uni Eropa, India masih tergolong pasar tradisional yang belum mengadopsi platform keberlanjutan secara ketat. Hal ini membuat pasar India memiliki potensi sebagai diversifikasi tujuan ekspor sawit selain dari Uni Eropa," kata Edi dalam keterangan tertulis, dikutip Warta Ekonomi, Selasa (29/10/2024).
Posisi strategis India sebagai pasar utama sawit Indonesia menurut Edi tidak main-main. Pasalnya, ekspor sawit ke India tercatat mencapai 5,97 juta ton dengan nilai US$5 miliar pada 2023. Angka tersebut meningkat signifikan dari 3,2 juta ton pada tahun 2021 lalu.
Kendati demikian, proyeksi 2024 menunjukkan adanya penurunan ekspor sawit menjadi 5 juta ton akibat dari kebijakan tariff India yang meningkat tajam dari yang semula 5,5% menjadi 27,5% untuk crude oil dan 13,75% menjadi 35,75% untuk refined oil. Tantangan lainnya juga muncul dari program pengembangan sawit domestik India yang ditargetkan meningkat dari 400.000 ton menjadi 4 juta ton dalam 7 hingga 8 tahun mendatang.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menggarisbawahi urgensi diversifikasi pasar sawit Indonesia. Menurut dia, Indonesia perlu memperkuat penetrasi ke pasar-pasar potensial selain meningkatkan konsumsi dalam negeri melalui program B40. Salah satu pasar potensialnya yakni India.
Kendati demikian, dia menjabarkan bahwa ekspansi ke pasar India menghadapi dua tantangan utama. Pertama, India menerapkan kenaikan tariff impor untuk produk olahan sawit yang mencakup RBD palm olein dan crude palm oil sejak September 2024 lalu.
Baca Juga: Siemens Percepat Kesiapan Digital Industri Oleokimia Berbasis Kelapa Sawit di Indonesia
Kedua, India telah meluncurkan program 'National Mission on Edible Oils - Oil Palm (NMEO-OP)' pada Agustus 2021 dengan nilai investasi 11.040 crores. Adapun tujuan dari program tersebut meningkatkan produksi sawit domestik melalui perluasan area tanam dari 3,54 lakh hektare (2019-2020) menjadi 16,7 lakh hektare (2029-2030).
Oleh sebab itu, melalui program tersebut India menargetkan pengurangan ketergantungan impor dari yang semula 58% menjadi 38% pada tahun 2025 – 2026, meskipun permintaan diproyeksikan naik menjadi 29 juta ton.
Untuk menghadapi dinamika pasar India yang kian kompleks, Esther memaparkan empat strategi kunci yang dinilai perlu diimplementasikan secara komprehensif. Pertama, Indonesia perlu menyesuaikan strategi perdagangannya dalam menghadapi kebijakan proteksionis India.
Baca Juga: NU Kuatkan Sinergi, Kenalkan Santri tentang Kontribusi Sawit untuk Ekonomi
"Dengan kenaikan tarif yang signifikan mencapai 27,5% untuk crude oil dan 35,75% untuk refined oil, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel untuk mencari keseimbangan baru. Strategi ini harus mampu mengakomodasi kepentingan India dalam melindungi petani lokalnya, sambil tetap mempertahankan nilai strategis perdagangan bilateral," ucap Esther, dalam keterangannya, Selasa (29/10/2024).
Kedua, Indonesia perlu melakukan revitalisasi dan inovasi industri domestik. Hal tersebut dinilai menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing dari produk sawit Indonesia. Selain itu, modernisasi teknologi pengolahan dan penguatan program R&D disebut-sebut perlu diprioritaskan untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga yang kompetitif.
"Strategi cost-leadership yang tepat akan membantu industri sawit nasional menghadapi persaingan global sekaligus memperbaiki persepsi produk sawit Indonesia di pasar internasional," ungkapnya.
Strategi yang ketiga yakni melakukan pemahaman mendalam terkait pasar India. Hal tersebut menurut Esther perlu ditingkatkan melalui penelitian komprehensif dan dokumentasi strategis. Pasalnya, kurangnya analisis komparatif antar kedua negara selama ini disebut telah menghambat pengembangan kebijakan perdagangan yang efektif.
"Penelitian tentang pola konsumsi dan preferensi pasar India akan membantu mengidentifikasi peluang kerja sama yang saling menguntungkan dan mendukung proses negosiasi perdagangan," imbuhnya.
Baca Juga: Industri Sawit dan Kakao Tanggapi Diubahnya BPDPKS
Keempat, pemerintah dinilai perlu mengambil peran lebih aktif dalam mengatasi berbagai hambatan non-tarif. Dukungan dalam proses registrasi produk dan penanganan isu-isu terkait standar teknis dan sanitasi disebut akan membantu akses yang lebih luas bagi produk sawit Indonesia di pasar India.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement