Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

DMSI Beberkan Tujuh Strategi Menyelamatkan Industri Sawit dari Lonjakan Harga Global

DMSI Beberkan Tujuh Strategi Menyelamatkan Industri Sawit dari Lonjakan Harga Global Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Melonjaknya harga sawit di pasar global sebesar 31% beberapa waktu yang lalu menyibak tabir tantangan yang masih menghantui industri sawit Indonesia. salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, yang menyebut momentum itu malah memberikan kesan atau publik image yang buruk kepada produsen sawit.

Diungkapkan oleh Sahat, ada tujuh jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun para pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang sawit. Langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun DMSI di antaranya adalah dengan memberikan kewenangan penuh kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengatur harga sawit baik secara domestik maupun pasar global.

Baca Juga: Sederet Tantangan Industri Sawit dalam Menghadapi Gempuran Revolusi Industri

“Haramkan hukum kerugian negara di penetapan harga sawit ini,” kata Sahat kepada Warta Ekonomi, Senin (16/12/2024).

Sedangkan yang kedua adalah meninjau penetapan biodiesel. Menurut Sahat, penetapan level biodiesel dalam bentuk FAME tergantung juga harga fosil di pasar global. Maka dari itu, dia menyarankan Indonesia cukup memakai B30 saja apabila harga brent oil (minyak mentah dari Laut Utara) seperti saat ini yang berada di level USD 62 per barel. 

Selain itu, Indonesia juga perlu belajar dari Brazil untuk pemakaian gula mereka terkait rencana swasembada pangan dan energi. Apakah hendak fokus ke ethanol ataukah sugar cane.

“Ketiga produktivitas tanaman sawit ditargetkan bisa mencapai minimal 188 kilogram per pohon per tahunnya. Jadi kalau bisa ditanam sebanyak 138 pohon per hektare,” jelas Sahat.

Apabila hal tersebut tidak bisa dicapai dalam 4 tahun, imbuh Sahat, maka perlu ketegasan dari pemerintah untuk memberlakukan UUD 45 Pasal 33 Ayat 3.

“Pengelolaan lahan yang diijinkan negara untuk dipakai tidak optimal dijalankan, harus ganti rugi dan ditangani oleh negara. Dengan demikian, ketahanan energi yang dicanangkan Pak Prabowo bisa dicapai,” ucap Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) tersebut.

Baca Juga: Industri Kelapa Sawit Dituntut Makin Adaptif Hadapi Revolusi Industri di Indonesia

Langkah keempat yakni Sahat menilai para petani harus berkelompok dalam entitas berbentuk koperasi. Tujuannya agar petani bisa berubah karakter dari yang semula objek menjadi subjek. 

Pasalnya, apabila para petani sawit yang tidak berada di koperasi, maka bantuan finansial dan pola kerja sama operasi atau (KSO) dengan pabrik sawit PO Mill beremisi karbon tidak diberikan.

Kelima, Sahat mendesak agar pihak terkait segera melakukan program peremajaan sawit rakyat (PSR) alias replanting. Akan tetapi, di sisi lain dirinya juga menyarankan agar menghilangkan skema PSR model gratis senilai Rp60 juta per hektare yang selama ini dijalankan. 

Baca Juga: Harga CPO Melonjak 31%, Industri Sawit Indonesia Malah Hadapi Tantangan Baru

Pasalnya, dia menilai jika skema tersebut tidak mendidik dan hanya berakhir menjadi ‘bancakan’ di lapangan.

“Itu modelnya sudah pernah dialami dan terjadi ketika di pemerintahan Soeharto dalam bentuk loan atau pinjaman dengan bunga rendah melalui bank khusus,” tutur dia.

Keenam, dia mendesak agar pemerintah segera membentuk divisi dokter kesehatan perkebunan sawit rakyat. Melalui dokter kesehatan perkebunan sawit tersebut, nantinya tanaman sawit rakyat yang memiliki penyakit bisa diamati melalui teknologi micro satellite khususnya tanaman sawit milik petani. Mulai dari Aceh hingga Papua.

“Terakhir, sudah saatnya mengikuti manajemen pengelolaan sawit seperti di Malaysia yang terbukti berhasil. Yakni seluruh aktivitas sawit dilepaskan dari 32 kementerian. Caranya seperti yang disampaikan disertasi doktoral di FH UI 12 Desember lalu, yakni mendirikan satu badan. Badan Otoritas Sawit Indonesia atau BOSI,” ujar Sahat.

Nantinya, badan tersebut bertanggung jawab pada presiden sekaligus menjalankan digitalisasi agar supply chain sawit mulai dari sejak tandan buah segar (TBS) ke minyak sawit dan ke industri hilir bisa termonitor secara menyeluruh.

Baca Juga: Tak Ada Obat untuk Cendawan Parasit di Kebun Sawit, Metode Ini Diklaim Bisa Ulur Waktu

Lebih lanjut, pihaknya juga menanggapi terkait tingginya harga sawit di pasar global serta posisi Indonesia di masa mendatang. Menurut Sahat, agar terjadi kontrol seksama dan dapat meminimalisasi pola penipuan pajak perusahaan serta revenue tiap perusahaan industri sawit itu jelas, diperlukan Bursa Sawit yang membawahi transaksi pembelian maupun penjualan minyak sawit, Used Cooking Oil (UCO), maupun residunya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: