Sebagai negara produsen kelapa sawit di dunia, Indonesia berhutang besar kepada para petani kelapa sawit yang memiliki peran cukup signifikan di dalamnya dengan mengelola sekitar 6,7 juta hektare perkebunan kelapa sawit.
Akan tetapi, posisi penting nan krusial petani kelapa sawit tersebut menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) cenderung hanya dipandang sebagai objek semata oleh pemerintah dan industri kelapa sawit. Alhasil, petani kelapa sawit kerap hidup dalam kesulitan di tengah gagahnya gaung minyak sawit di tingkat global.
“Pemerintah dan industri membanggakan sawit sebagai sumber pendapatan negara namun minim menaruh perhatian pada petani kecil maupun petani plasma,” ungkap Ketua Umum SPKS, Sabarudin dalam keterangan, dikutip Sabtu (21/12/2024).
Baca Juga: Kemitraan Astra Agro dan Petani Sawit: Wujudkan Keberlanjutan dan Peningkatan Produktivitas
Menurut dia, kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan. Pasalnya, masih banyak koperasi perkebunan plasma di lapangan yang terlilit hutang besar akibat pola kemitraan yang tidak adil.
Serta, mereka kerap berkonflik dengan perusahaan perkebunan juga. Selain itu, banyaknya masyarakat tidak mendapatkan alokasi 20% plasma yang diregulasikan oleh pemerintah.
“Dalam konteks ini, begitu banyak perusahaan tidak memenuhi kewajibannya untuk membangun kebun masyarakat seluas 20% dari luas konsesi perusahaan,” ucap Sabarudin.
Pihaknya sempat mencatat ada 35% perusahaan yang tidak membangun plasma untuk masyarakat sekitar. Di sisi lain, petani mandiri skala kecil juga tidak diberdayakan oleh perusahaan besar padahal para petani kecil tersebut berada di sekitar perusahaan besar yang tidak taat pada peraturan kemitraan perkebunan.
Imbasnya, petani sawit mandiri terus menerus kehilangan pendapatan sekitar 30% tiap bulannya lantaran digempur oleh tengkulak yang mengatur dan mendongkrak harga seenaknya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Belinda Safitri
Advertisement