Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diskusi Publik INDEF dan Universitas Paramadina Sampaikan 'Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi'

Diskusi Publik INDEF dan Universitas Paramadina Sampaikan 'Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi' Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Digelar secara daring, Universitas Paramadina bekerja sama dengan INDEF mengadakan diskusi publik bertajuk "Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi" pada Rabu, 22 Januari 2025.

Dimoderatori oleh dosen Universitas Paramadina Nurliya Apriyana, M.M., diskusi ini menghadirkan berbagai pakar ekonomi sebagai pembicara, seperti Prof. Didik J. Rachbini (Rektor Universitas Paramadina), Eisha Maghfiruha Rachbini, Ph.D (Ekonom INDEF), Yose Rizal Damuri, Ph.D (Direktur Eksekutif CSIS), dan Wijayanto Samirin, MPP (Ekonom Universitas Paramadina). 

Dalam sambutannya, Prof. Didik J. Rachbini menyoroti sejumlah persoalan mendasar yang dihadapi sektor ekonomi Indonesia. Ia menekankan bahwa sebagian besar isi dari visi Astacita yang diusung oleh Presiden Prabowo berkaitan erat dengan isu ekonomi. Namun, realisasi visi ini membutuhkan penguatan sektor industri yang selama ini tumbuh stagnan.

Sebagai perbandingan, ia menyebutkan bahwa ekspor Indonesia, yang dua dekade lalu mencapai USD 200 miliar per tahun, kini hanya tumbuh sedikit menjadi USD 250 miliar per tahun. Sebaliknya, Vietnam, yang kini menjadi pesaing regional, telah mencapai ekspor senilai USD 405 miliar per tahun. 

Prof. Didik menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 8% tidak akan tercapai tanpa reformasi industri dan investasi yang signifikan. Ia juga mengingatkan bahwa investasi asing yang sebelumnya masuk ke Indonesia kini mulai bergeser ke Vietnam, sebagaimana terjadi pada Filipina di era 1980-an saat investasi beralih ke Indonesia.

Eisha Maghfiruha Rachbini, Ph.D, melanjutkan diskusi dengan memaparkan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintahan Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. 

Menurutnya, sektor digital menjadi salah satu pengungkit utama yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Saat ini, kontribusi ekonomi digital terhadap PDB baru mencapai 3,7% pada tahun 2024, tetapi diproyeksikan dapat tumbuh hingga 7,1% pada 2025. 

Namun, ia mengingatkan bahwa pertumbuhan ini memerlukan dukungan kebijakan yang kuat, terutama untuk sektor e-commerce, fintech, dan digitalisasi UKM. 

Eisha juga menyoroti pentingnya hilirisasi industri dan pengembangan pariwisata sebagai sektor kunci untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ia menyebutkan bahwa penurunan daya beli masyarakat menjadi tantangan utama yang harus segera diatasi untuk mendukung pertumbuhan sektor ekonomi digital.

Sementara itu, Yose Rizal Damuri, Ph.D, menyoroti belum jelasnya arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo selama 100 hari pertama. Ia mengkritik minimnya koordinasi antar lembaga dan lambatnya publikasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang menjadi acuan utama kebijakan pembangunan. 

Yose juga menekankan bahwa pemerintahan ini menghadapi tantangan besar berupa warisan masalah ekonomi dari pemerintahan sebelumnya, seperti ketidakpastian regulasi, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, dan dampak perubahan iklim. 

Di sisi lain, Yose menyebut bahwa kebijakan upah minimum yang diumumkan oleh Presiden Prabowo menunjukkan potensi politisasi yang dapat menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha. Ia menyatakan bahwa kebijakan seperti ini hanya berdampak pada sebagian kecil pekerja dan tidak efektif dalam meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.

Wijayanto Samirin, MPP, melengkapi pembahasan dengan menyoroti kompleksitas kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Prabowo. Ia mencatat adanya enam kecenderungan utama dalam 100 hari pertama, yaitu kurangnya koordinasi antar lembaga, komunikasi publik yang buruk, pendekatan kebijakan yang terfragmentasi, dominasi narasi populis, lemahnya basis teknokratis, dan kesenjangan besar antara narasi dengan implementasi di lapangan. 

Wijayanto juga menyoroti tantangan fiskal yang semakin berat, dengan utang sebesar Rp1.600 triliun yang jatuh tempo dalam waktu dekat dan pengeluaran yang terus meningkat. Menurutnya, pemerintah perlu segera memperkuat manajemen utang, memperbaiki regulasi, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk mengatasi tantangan ini. 

Ia menegaskan bahwa tahun 2025-2026 akan menjadi periode kritis bagi perekonomian Indonesia, yang memerlukan langkah-langkah strategis untuk menghindari krisis.

Baca Juga: Ekonom INDEF: Merger dan Akuisis Perusahaan Cara Efektif Perkuat Posisi Pasar

Baca Juga: INDEF Menguji Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, 'Tak Ada Strategi dari Jebakan Deindustrialisasi'

Pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan besar untuk membawa Indonesia keluar dari stagnasi ekonomi. Keberhasilan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius bergantung pada kemampuan pemerintah untuk melakukan reformasi struktural, memperkuat sektor industri, dan mengoptimalkan potensi ekonomi digital. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: