Nasib Malang Dolar AS, Diancam Efek Tarif hingga Resesi di Amerika Serikat
Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Dolar Amerika Serikat (Dolar AS) mengalami koreksi yang cukup signifikan dalam perdagangan terakhir untuk pekan lalu di Jumat (7/3). Pasar dipenuhi kekhawatiran terkait dengan perlambatan ekonomi hingga resesi di AS.
Dilansir dari CNBC International, Senin (10/3), Indeks Dolar (DXY) yang mengukur nilai dolar terhadap mata uang utama lainnya turun 0,4% ke 103,72. Ia dalam sepekan telah mengalami tekanan hingga 3,5%.
Chief Investment Officer GDS Wealth Management, Glen Smith mengatakan bahwa pasar uang menyoroti lemahnya data tenaga kerja dari Amerika Serikat. Hal ini berujung timbulnya kekhawatiran terkait dengan resesi sampai dengan pemotongan suku bunga dari Federal Reserve (The Fed).
“Laporan ketenagakerjaan hari ini lebih lemah dari perkiraan, yang mengkhawatirkan karena belum mencerminkan dampak pemangkasan pekerjaan pemerintah baru-baru ini,” kata Glen Smith.
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat baru-baru ini menunjukkan data nonfarm payrolls hanya bertambah 151.000 di Februari 2025. Capaian tersebut lebih rendah dari proyeksi pasar yang berekspektasi hingga 160.000.
Data Januari juga direvisi menjadi turun ke 125.000. Padahal sebelumnya data nonfarm payrolls untuk bulan tersebut mencapai 143.000.
Adapun upah rata-rata per jam naik 0,3% di Februari 2025. Angka tersebut cenderung melambat dari kenaikan 0,5% di Januari 2025. Secara tahunan, pertumbuhan upah juga tercatat menurun menjadi 4%.
Data ekonomi terbaru ini membuat pasar memiliki ekspektasi terkait dengan melambatnya ekonomi hingga pemotongan suku bunga dari The Fed. Pasar kini memperkirakan pemangkasan suku bunga sebesar 78 basis poin atau sekitar tiga kali pemotongan masing-masing 25 basis poin di 2025.
Kini pasar uang juga menyoroti perkembangan soal kebijakan tarif dari AS. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump baru-baru ini mengatakan bahwa ekonomi negaranya tengah berada dalam masa transisi menuju lebih baik.
Dirinya tak ingin berspekulasi terkait dengan kemungkinan terjadinya resesi maupun perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat kebijakan tarif dari Amerika Serikat.
Adapun Menteri Perdagangan Amerika Serikat, Howard Lutnick menegaskan bahwa pihaknya tak akan mundur dari penerapan kebijakan tarif sebelum adanya penangangan serius soal peredaran fentanyl dari Meksiko, Kanada, dan China.
Baca Juga: Tak Lepas dari Bitcoin, Alasan Trump Dekati Elite Industri Kripto Global
"Jika fentanyl dihentikan, saya pikir tarif ini akan dicabut. Tetapi jika tidak, atau jika beliau masih ragu, maka kebijakan ini akan terus berlanjut sampai kami merasa yakin," ujar Lutnick.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement