
Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menyoroti dampak kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap industri pembiayaan atau multifinance dalam negeri.
Ketegangan berkepanjangan antara Amerika Serikat dan China dinilai menciptakan ketidakpastian ekonomi global, yang menjadi tantangan tersendiri bagi sektor pembiayaan di Indonesia. Ketua Umum APPI, Suwandi Wiratno, menegaskan bahwa persoalan utama bukan pada tarif pajak di dalam negeri, melainkan dampak lanjutan dari perang dagang global tersebut.
“Nah, yang kita khawatirkan kalau China nanti dia tidak bisa jual barangnya ke Amerika atau apa pun lah, misalnya bajunya atau benda, barang-barang apa pun, dia buang ke Asia Tenggara, salah satunya ke Indonesia. Tentu itu yang kita selalu takutkan, bahwa barang Cina ini kan lebih murah dari barang-barang yang selalu disampaikan bahwa China product lebih murah, China product lebih murah,” kata Suwandi saat dihubungi Warta Ekonomi, Jakarta, Sabtu (19/4/2025).
Baca Juga: OJK Catat Pembiayaan Kendaraan Listrik Tembus Rp15,74 triliun di Februari 2025
Menurutnya, banjir produk murah asal China ke pasar Indonesia berpotensi menekan daya saing produk lokal, khususnya dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jika daya saing UMKM tergerus, efek domino bisa menjalar ke sektor ketenagakerjaan.
Dampak negatif terbesar, kata Suwandi, adalah kemungkinan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika hal itu terjadi, kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajiban kredit juga akan terganggu, terutama dalam pembiayaan kendaraan atau modal usaha.
“Nah, kalau terjadi PHK massal, itu kan juga nasabah-nasabahnya multifinance. Nah, itu yang multifinance mesti harus juga menyikapinya, bagaimana nanti melakukan persetujuan kredit dan segalanya,” tuturnya.
Baca Juga: OJK Waspada! Lembaga Pembiayaan Bisa Berdarah Karena Tarif Trump
Ia menambahkan bahwa bahkan sebelum isu perang dagang mencuat, sektor pembiayaan sudah menghadapi tantangan dari sisi daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya.
“Nah, kita sebelum ada masalah term, kita juga udah punya masalah daya beli. Daya beli sendiri juga kan sudah melemah dan sampai hari ini pun juga belum bisa bangkit dan segalanya. Nah, ini yang menjadi masalah, yang istilahnya domino-nya tuh atau multiple effect-nya tuh besar,” pungkasnya.
Dalam situasi yang tidak menentu ini, Suwandi menilai bahwa perusahaan pembiayaan perlu bersikap lebih selektif dan berhati-hati dalam menyetujui permohonan kredit. Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa calon debitur benar-benar memiliki kemampuan finansial.
“Ya, dalam menyetujui kredit benar-benar hati-hati, jangan ikat pinggang. Benar-benar dilihat bahwa orang yang misalnya mau membeli kendaraan itu adalah orang yang memang mempunyai tabungan yang cukup, mempunyai pendapatan yang cukup, yang memang benar-benar membutuhkan,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement