Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

AS Protes! DMO hingga Divestasi 51% RI Dinilai Batasi Keluwesan Investor Asing

AS Protes! DMO hingga Divestasi 51% RI Dinilai Batasi Keluwesan Investor Asing Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Amerika Serikat menyoroti sejumlah kebijakan perdagangan dan investasi Indonesia dalam 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers. Laporan tahunan ini memuat daftar hambatan perdagangan dari negara-negara mitra yang dinilai mengganggu kepentingan pelaku usaha AS, termasuk kewajiban divestasi di sektor pertambangan, larangan ekspor bijih, dan pembatasan fleksibilitas di sektor minyak dan gas.

Pemerintah Indonesia mewajibkan perusahaan asing di sektor pertambangan untuk mendivestasikan 51% sahamnya kepada pihak Indonesia. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 96 Tahun 2021 yang telah diubah melalui PP No. 25 Tahun 2024. Jika perusahaan tidak memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) terintegrasi, proses divestasi harus diselesaikan dalam waktu 15 tahun. Namun, jika perusahaan memiliki fasilitas pengolahan sendiri, tenggat waktu divestasi diperpanjang menjadi 20 tahun.

Laporan juga menyoroti kebijakan ekspor Indonesia yang melarang pengiriman beberapa jenis bijih ke luar negeri, seperti nikel, bauksit, tembaga, dan timah. Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang telah diubah pada 2020. Amerika Serikat menyatakan kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran serius karena memengaruhi pasokan global untuk sektor baja dan aluminium.

Baca Juga: DBS: Dunia Usaha Harus Siap Bertransformasi Melawan Efek Tarif Trump

Pada Desember 2019, AS bergabung dengan Uni Eropa dalam menggugat kebijakan ekspor Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Panel WTO memutuskan bahwa larangan ekspor bijih nikel Indonesia melanggar aturan perdagangan internasional. Indonesia kemudian mengajukan banding atas keputusan tersebut pada Desember 2022.

Di sektor energi dan pertambangan, Pemerintah Indonesia dinilai terlalu dominan dalam menetapkan syarat kontrak bagi hasil (production sharing contract). Melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 yang telah diubah dengan PP No. 27 Tahun 2017 dan PP No. 93 Tahun 2021, pemerintah dapat secara sepihak mengubah ketentuan mengenai pengembalian biaya (cost recovery) dan pengenaan pajak.

Baca Juga: Trump Naikkan Tarif, Multifinance RI Kena Getahnya

Pemerintah juga berwenang membatasi jumlah biaya maksimal yang dapat diklaim perusahaan, termasuk gaji, pembelian barang dan jasa. Pembatasan ini dianggap mengurangi fleksibilitas investor asing dalam mengelola proyek-proyeknya.

Laporan juga mengkritisi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yang mengharuskan perusahaan migas menjual 25% produksinya ke kilang dalam negeri dengan harga rendah. Amerika Serikat menilai kewajiban ini memperkecil margin keuntungan perusahaan dan menambah risiko investasi.

Secara keseluruhan, Washington menilai regulasi-regulasi tersebut sebagai hambatan non-tarif yang menyulitkan akses pasar dan menghambat iklim investasi asing di Indonesia, khususnya di sektor strategis seperti energi dan pertambangan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: