Dinilai Minim Koordinasi, Guru Besar UI Sebut PP 28/2024 Berpotensi Ancam Industri Tembakau dan Makanan
Kredit Foto: Antara/Adeng Bustomi
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menuai kritik karena dinilai minim koordinasi antar-kementerian dan berpotensi merugikan sektor industri strategis, termasuk tembakau dan makanan-minuman. Pakar hukum internasional Prof. Hikmahanto Juwana menilai, regulasi ini justru dapat menimbulkan dampak luas yang kontraproduktif bagi perekonomian.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, menyatakan bahwa PP 28/2024 seharusnya menjadi tonggak penguatan sistem kesehatan nasional, namun terkesan didominasi oleh kepentingan sektoral Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tanpa melibatkan kementerian terkait secara memadai.
"PP 28/2024 ini seharusnya bisa meredam ego sektoral dari satu kementerian ke kementerian lain. Pemerintah harus membuat aturan yang adil bagi pelaku usaha, petani, buruh pabrik, dan konsumen," tegasnya di Jakarta, Kamis (29/5/2025).
Ia menekankan pentingnya peran Menko terkait untuk memastikan kebijakan lintas sektor seperti ini tidak tumpang tindih dan merugikan industri strategis.
Beberapa pasal dalam PP 28/2024 dinilai mengancam ekosistem industri yang menyerap jutaan tenaga kerja, di antaranya:
Pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berpotensi memengaruhi industri makanan-minuman.
Larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter serta iklan rokok di luar ruang dalam radius 500 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.
Kebijakan ini dikhawatirkan akan mengurangi pendapatan petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil, serta memicu peningkatan peredaran rokok ilegal.
Salah satu poin paling kontroversial adalah rencana penerapan plain packaging (kemasan polos tanpa identitas merek) untuk produk rokok melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Hikmahanto menyoroti bahwa kebijakan ini mengadopsi prinsip Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang tidak diratifikasi Indonesia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada intervensi asing dalam kebijakan domestik.
Kritik Prosedural dari Wakil Menkumham
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menyoroti potensi cacat prosedural dalam penyusunan PP 28/2024.
"Kalau terbukti PP ini dibuat tanpa partisipasi pemangku kepentingan, berarti secara prosedur cacat dan bisa dibatalkan. Kita belum bicara substansi sekalipun," ujarnya.
Ia mendorong pihak yang dirugikan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) guna menguji kesesuaian PP ini dengan peraturan yang lebih tinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement