Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tarif AS Ancam Industri Tekstil dan Alas Kaki, INDEF: Investasi Bisa Susut hingga 2 Persen

Tarif AS Ancam Industri Tekstil dan Alas Kaki, INDEF: Investasi Bisa Susut hingga 2 Persen Kredit Foto: Uswah Hasanah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan tarif impor Amerika Serikat terhadap produk-produk dari Indonesia kembali menjadi sorotan. Meskipun besaran tarif yang dikenakan kepada Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara pesaing, dampaknya justru paling besar terasa di sektor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki.

Dalam diskusi publik yang digelar, Ahmad Heri Firdaus selaku Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), memaparkan bahwa sektor-sektor tersebut mengalami tekanan paling signifikan sejak kebijakan tarif terbaru diberlakukan. 

Ia menyebut, ekspor dari industri tekstil dan alas kaki berpotensi turun hingga 4,8 persen, sementara investasi di sektor ini bisa menyusut sebesar 2,09 persen.

Baca Juga: IMF: Perang Tarif Masih Jadi Ancaman, Proyeksi Ekonomi Global Akan Diperbarui Lagi

“Tekstil dan alas kaki adalah sektor yang sangat bergantung pada pasar Amerika Serikat. Banyak merek global seperti Nike memproduksi barangnya di Indonesia. Jadi ketika ada perubahan tarif, dampaknya langsung terasa,” kata Heri, Senin (21/7/2025).

Ironisnya, penurunan ekspor Indonesia justru lebih besar dibandingkan negara-negara yang tarifnya lebih tinggi seperti Vietnam atau Bangladesh. Ini, menurut Heri, menunjukkan bahwa persoalan utamanya bukan sekadar besaran tarif, tetapi efisiensi biaya produksi. 

“Vietnam, meski tarifnya lebih tinggi, tetap bisa bersaing karena biaya produksi mereka lebih murah. Kita di Indonesia, dengan tarif lebih rendah, tapi ongkos produksi tinggi, akhirnya kalah bersaing,” ujarnya.

Industri tekstil dan alas kaki merupakan salah satu penopang utama tenaga kerja nasional. Tekanan terhadap sektor ini dikhawatirkan bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja dan merosotnya daya serap sektor manufaktur terhadap angkatan kerja. 

Heri menambahkan, sektor padat karya yang kini sedang tertekan itu seharusnya menjadi prioritas perlindungan pemerintah karena kontribusinya besar terhadap ekspor dan penciptaan lapangan kerja.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa ancaman bukan hanya berasal dari menurunnya daya saing ekspor, tapi juga dari sisi kebijakan dalam negeri yang belum berpihak pada efisiensi industri. 

Harga energi, logistik, dan biaya transportasi di Indonesia dinilai masih terlalu tinggi, memperburuk posisi daya saing produk lokal di pasar global.

Baca Juga: Industri Tekstil Sambut Penurunan Tarif AS, API Ingatkan Ancaman Produk Impor

“Ini saatnya pemerintah serius memperbaiki struktur biaya produksi di sektor manufaktur. Jangan hanya berharap dari insentif ekspor atau perjanjian dagang, tapi perkuat juga daya saing dari dalam negeri,” tegas Heri.

Ia juga meminta pemerintah menyiapkan strategi mitigasi yang konkret, mengingat sektor tekstil dan alas kaki menyumbang pangsa besar dalam ekspor nonmigas Indonesia, sekaligus menjadi sektor yang menyerap jutaan tenaga kerja di kawasan industri seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.

“Kalau tak ada langkah cepat, sektor ini bisa kehilangan daya tariknya bagi investor global. Jangan sampai merek-merek besar memindahkan produksinya ke negara lain yang lebih efisien,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: