Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dukung Semangat Reformasi, IAW Dukung Langkah Presiden Perbaiki Struktur Pemerintahan

Dukung Semangat Reformasi, IAW Dukung Langkah Presiden Perbaiki Struktur Pemerintahan Kredit Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Warta Ekonomi, Bandung -

 Indonesian Audit Watch (IAW) menyampaikan kritik tajam terhadap praktik rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN. Fenomena tersebut bukan sekadar penyimpangan administratif, melainkan pelanggaran substansial terhadap etika konstitusional dan semangat reformasi birokrasi.

Dalam Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, Mahkamah menyatakan bahwa posisi wakil menteri setara dengan menteri karena sama-sama diangkat presiden.

Dengan demikian, larangan rangkap jabatan dalam Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 juga berlaku untuk wakil menteri. Pertimbangan ini bertujuan memastikan fokus kerja dan integritas pejabat tinggi negara.

Baca Juga: Asta Cita jadi Gagasan Kuat, Ramadhan Pohan Sebut Prabowo Subianto Punya Kans Besar Jadi Presiden RI Terbaik Pasca Reformasi

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menegaskan, langkah mempertahankan jabatan ganda tersebut mencerminkan pengabaian terhadap pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK), yang semestinya menjadi rujukan etik dalam tata kelola negara.

“Di tengah semangat efisiensi birokrasi yang digaungkan Presiden Prabowo, justru muncul manuver politik yang berpotensi mempermalukan arah kebijakan beliau, yakni mempertahankan jabatan rangkap wakil menteri sebagai komisaris BUMN,” ujar Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/7/2025). 

Iskandar menyayangkan argumen yang menyebut bahwa pertimbangan Mahkamah Konstitusi tidak mengikat karena tidak tercantum dalam amar putusan. Bagi IAW, pandangan tersebut justru mengaburkan makna integritas dalam pengelolaan negara.

“Padahal, publik paham bahwa efisiensi sejati bukan sekadar hemat anggaran, tapi juga soal moralitas tata kelola. Jika jabatan komisaris hanya dijadikan ‘gaji tambahan’ bagi pejabat, lalu di mana letak teladan yang ingin ditunjukkan?” ujarnya.

IAW juga mengkritik narasi yang mencoba mereduksi nilai pertimbangan MK. Ia menilai, sikap semacam ini justru menunjukkan bahwa sebagian pejabat hanya tunduk pada hukum ketika ada paksaan eksplisit.

“Padahal, sejarah membuktikan bahwa negara ini sudah berkali-kali mengikuti pertimbangan MK tanpa harus menunggu amar yang tegas,” katanya.

Iskandar merujuk pada lima putusan MK yang membuktikan bahwa pertimbangan hukum dapat menjadi landasan sah kebijakan negara:

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, yang memicu terbitnya Permendagri No. 52/2014 dan PermenLHK No. 21/2019.

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, yang melahirkan revisi menyeluruh dalam UU No. 6/2023.

Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Nikah, yang mendorong Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 3/2018.

Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 tentang Masa Jabatan Kepala Daerah, yang dijadikan dasar PKPU No. 6/2015.

Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 tentang Eks Napi Koruptor, yang melahirkan PKPU No. 20/2018.

“Lima kesimpulan tersebut 100% bahwa setiap pertimbangan MK di atas berdampak nyata pada regulasi teknis. Pola konsistennya adalah negara menindaklanjuti pertimbangan MK sebagai bagian dari etika konstitusional,” tegasnya.

IAW mendesak pemerintah agar tidak mengabaikan etika tersebut, terutama dalam membangun sistem birokrasi yang bersih dan efisien di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo.

“Efisiensi bukan berarti semata-mata mengurangi jabatan menteri, namun bukan juga mengkompensasi pendapatan Wamen lewat BUMN. Justru hal seperti itu yang bertolak belakang dengan janji Presiden Prabowo bahwa negara harus dikelola dengan hemat, gesit, dan bersih,” jelasnya.

Iskandar juga mengingatkan bahwa solusi atas persoalan kesejahteraan pejabat bukanlah menambah jabatan, tetapi melakukan reformasi sistem penggajian.

“Kalau ada wakil menteri yang merasa kurang besar gajinya, maka solusinya bukan menambah jabatan, melainkan merombak sistem kompensasi secara adil dan transparan,” tegasnya.

Dia menilai, pembiaran atas praktik seperti ini hanya akan menambah beban moral terhadap agenda reformasi yang diusung presiden.

“Sudahi pembenaran berlapis. Jangan jadikan celah hukum sebagai ruang kompromi moral. Presiden sudah melangkah dengan niat baik membenahi manajemen negara. Jangan ada anak buah yang menanam ranjau politik di bawah tapak kaki pemimpin sendiri,” kata Iskandar.

Baca Juga: Sri Mulyani Serukan Reformasi Arsitektur Keuangan Global yang Inklusif dan Adaptif

Dia menegaskan pentingnya menjunjung tinggi seluruh isi putusan MK, termasuk bagian pertimbangannya.

“Karena jika kita sungguh menghormati Mahkamah Konstitusi, maka bukan hanya amarnya yang ditaati, tapi juga pertimbangannya yang dihayati! Dan jika kita benar-benar ingin membantu Presiden, maka buktikan lewat teladan, bukan lewat akal-akalan jabatan!” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: