Pemkot Tanjungpinang Cabut HGB 1.100 Hektare, Dinilai Jadi Reforma Agraria Tegas
Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Langkah berani diambil Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, ketika pada 25 Mei 2025 lalu secara resmi menerbitkan Surat Keputusan Penolakan Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah seluas 1.100 hektare yang selama ini dikuasai empat korporasi besar. Keputusan tersebut menjadi sinyal keras bagi para oligarki tanah.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyebut langkah tersebut juga sebagai bentuk nyata "menampar oligarki". Sebab, tanah tersebut tidak pernah dimanfaatkan secara produktif, hanya digunakan secara simbolis, bahkan tidak pernah diaudit hingga hampir hangus haknya.
“Sejak PT Bina Raya Mandiri, PT Tanjungpinang Lestari, PT Bintang Pratama, dan PT Tirta Kencana diberi HGB, tidak ada audit, tidak ada penertiban, hingga akhirnya haknya hampir selamanya hangus,” kata Iskandar, Rabu (6/8/2025).
Baca Juga: Kawal Reforma Agraria, Pedoman Akuntansi Badan Bank Tanah Jadi Acuan Nasional Tata Kelola Aset Negara
Masalah tersebut tidak hanya berlangsung pada masa Orde Baru. Di era reformasi hingga kini, bangunan korupsi agraria tetap menjangkiti ruang publik. Masyarakat setempat mulai menggarap lahan secara mandiri, namun Pemkot mengalami kesulitan menertibkan status hukum karena hak HGB belum pernah dicabut secara sah.
Langkah Lis Darmansyah menolak perpanjangan HGB didukung landasan hukum yang sangat kuat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 14 menyebutkan, HGB/HGU batal jika tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 34 mewajibkan bukti pemanfaatan lahan sebelum HGB diperpanjang. Bahkan, Mahkamah Agung melalui putusan No. 123 PK/Pdt/2022 menegaskan, negara berhak mencabut HGB yang tidak digunakan secara produktif.
Tidak hanya itu, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat langkah Pemkot Tanjungpinang. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK No. 11/2023 mengungkap, 11% lahan di kota tersebut dikuasai empat korporasi besar, dan sebagian besar lahan tersebut terbukti idle dan melanggar RTRW. Sementara LHP BPK No. 52/2022 menyoroti lemahnya pengawasan tanah negara oleh Pemda Kepri.
Bagi Iskandar, momen tersebut adalah peluang emas untuk mengubah status lahan-lahan menjadi TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Hal tersebut sesuai dengan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 Pasal 13 yang menyebutkan, eks-HGB/HGU idle masuk dalam kategori TORA, serta Permen ATR/BPN Nomor 20 Tahun 2021 Pasal 15 yang menegaskan, reforma agraria harus diprioritaskan di wilayah perkotaan.
Dia menyarankan Pemkot Tanjungpinang segera mengaktifkan Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang melibatkan Forkopimda sebagai garda terdepan, merujuk pada SK Nomor 157 Tahun 2024. Proses legalisasi tanah juga bisa dilakukan lewat Surat Keputusan Wali Kota, yang kemudian dilanjutkan dengan distribusi lahan: 30% untuk fasilitas umum dan 70% untuk masyarakat, dalam bentuk hak milik dan sertifikat resmi dari BPN.
“Produk GTRA di Tanjungpinang bisa jadi sangat teruji bila dilaksanakan secara transparan dan melibatkan publik,” tegas Iskandar.
Menurutnya, langkah Lis Darmansyah sudah sangat tepat dan harus dilindungi hukum yang berlaku. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Pasal 60 menyatakan bahwa keputusan pejabat tidak bisa digugat selama diambil sesuai prosedur. Selain itu, Pasal 18 PP 18/2021 menyebut bahwa pembatalan HGB/HGU sah jika terbukti ada pelanggaran administratif.
Untuk memperkuat langkah tersebut, Pemkot juga perlu menyusun berita acara verifikasi tanah, memaksimalkan fungsi pengawasan GTRA, serta menggunakan hasil audit BPK sebagai panduan teknis. Di sisi lain, pemerintah juga harus mengejar pendapatan negara dari pajak dan PNBP yang semestinya dibayarkan oleh pemegang HGB yang selama ini menguasai tanah secara tidak produktif.
Langkah Tanjungpinang kontras dengan sikap Pemerintah Kota Batam yang dinilai pasif dan bahkan membiarkan eks-HGU di Rempang Galang jatuh ke tangan investor asing, sementara warganya digusur. Iskandar menyebut Batam sebagai “anomali dari Tanjungpinang” dalam hal penanganan tanah negara.
Ia juga menyarankan Presiden Prabowo Subianto mencermati dan menindaklanjuti keberanian Pemkot Tanjungpinang dengan sejumlah langkah strategis nasional, seperti mencabut kewenangan BP Batam dalam pengelolaan tanah eks-HGU, memerintahkan audit nasional atas HGB/HGU idle, memperkuat sanksi dalam Perpres 86/2018, serta mengejar seluruh pajak dan PNBP yang dikemplang pemegang hak atas tanah negara.
Baca Juga: Istana Tegaskan: Pemerintah Tidak Ingin Ambil Alih Lahan, Tapi Dorong Pemanfaatan Produktif dan Cegah Konflik Agraria
“Banyak korporasi yang culas dan jahat, sementara yang baik tidak mendapat peluang yang semestinya,” kata Iskandar.
Iskandar menekankan, tanah negara tidak seharusnya dibiarkan dikuasai spekulan, melainkan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam pandangannya, keberanian Lis Darmansyah harus dilanjutkan dengan pengawasan ketat, keterbukaan data, dan integritas tanpa kompromi.
“Maju dan pertahankan keputusanmu, Wali Kota Lis Darmansyah, untuk rakyat dan wilayahmu!” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement