Si Kaya Raya Bayar Pajak Lebih Rendah, CELIOS Ungkap Celah Sistem Pajak yang Miskinkan Rakyat
Kredit Foto: Uswah Hasanah
Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, mengungkap ketimpangan serius dalam sistem perpajakan Indonesia yang memungkinkan kelompok super kaya membayar pajak jauh lebih rendah secara proporsional dibanding masyarakat miskin.
Media menjelaskan bahwa kompleksitas penghasilan dan praktik pengelolaan aset melalui perusahaan cangkang serta tax haven membuat orang kaya, yang pendapatannya bisa puluhan miliar rupiah per bulan, membayar pajak lebih sedikit secara persentase.
“Orang super kaya, yang pendapatannya bisa mencapai puluhan miliar rupiah per bulan, membayar pajak jauh lebih sedikit secara proporsional,” ujarnya, dalam diskusi publik bertajuk "Dengan Hormat, Pejabat Negara; Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang" di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Baca Juga: Sri Mulyani Buka Suara Soal Pajak Pedagang Online, Begini Katanya
Ketimpangan ini berdampak pada melemahnya permintaan agregat karena kelompok kaya cenderung tidak menghabiskan seluruh pendapatannya, berbeda dengan masyarakat miskin yang bahkan bisa menghabiskan hingga 120% pendapatan, termasuk utang.
“Ketika pendapatan terkonsentrasi di tangan segelintir orang kaya, daya beli masyarakat luas melemah, yang pada akhirnya memperburuk masalah pengangguran,” tambah Media.
Media menekankan pentingnya sistem pajak progresif yang adil sebagai alat redistribusi pendapatan sekaligus memperkuat program perlindungan sosial pemerintah.
Ia juga mendorong pengenaan pajak kekayaan, pajak karbon, dan pajak alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara berkelanjutan. Contohnya, pajak 2% atas total aset 50 orang super kaya berpotensi menyumbang Rp81 triliun per tahun.
Peneliti CELIOS, Jaya Darmawan, menambahkan bahwa pertumbuhan kekayaan super kaya di Indonesia semakin besar, sementara perlindungan sosial untuk masyarakat miskin masih rendah, hanya sekitar 1-2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga: Wamenkeu Beberkan 5 Langkah Perkuat Pajak Nasional di Tengah Ekonomi Global yang Makin Tidak Karuan
Ia menyebut pajak kekayaan sebagai solusi progresif yang harus segera dibahas pemerintah dan DPR untuk memperluas basis penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang.
Jaya juga mengkritik insentif pajak senilai Rp137,4 triliun pada 2024 yang lebih banyak menguntungkan konglomerat dan perusahaan besar di sektor ekstraktif seperti geothermal dan batubara.
“Subsidi fiskal yang diberikan kepada perusahaan besar ini perlu ditinjau ulang agar tidak memperbesar kesenjangan dan melemahkan daya fiskal negara,” ujarnya. Ia menyerukan transparansi dalam laporan belanja perpajakan agar publik dapat mengawasi dan mendorong reformasi fiskal yang berkeadilan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement