Kredit Foto: Ist
Industri otomotif Indonesia menghadapi tekanan berat seiring beban pajak tinggi yang membebani harga jual kendaraan dan membuat daya saing melemah. Pengamat otomotif Agus Tjahjana menilai kondisi ini membuat penjualan mobil nasional menurun dalam beberapa tahun terakhir, sementara negara pesaing seperti Thailand lebih unggul dengan struktur pajak yang lebih ringan.
“Total beban pajak kendaraan di Indonesia sudah tembus 40% dari harga jual mobil umum. Bahkan bisa lebih tinggi. Itu yang bikin beban pajak otomotif kita paling besar di Asean,” kata Agus dalam Bisnis Indonesia Forum bertajuk “Lima Dekade Industri Otomotif, Produk Lokal Pasar Global” di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Ia menyebut pajak mobil baru seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) berkontribusi besar terhadap tingginya harga. Agus membandingkan, beban pajak kendaraan di Thailand hanya sekitar 32%. Struktur pajak yang lebih ringan membuat Thailand tidak hanya menjaga daya beli domestik, tetapi juga menjadi basis produksi otomotif global.
Baca Juga: Sektor Otomotif Lagi Lesu, Tapi Penjualan dan Ekspor Mobil EV Meningkat
Selain beban pajak tinggi, Agus menyoroti ketidakadilan pasar akibat kebijakan yang justru meringankan kendaraan listrik (EV) impor, sementara produk konvensional lokal tetap dikenakan tarif tinggi. “Padahal penyumbang pajak, terlebih untuk daerah itu memang dari produk lokal konvensional. Karena itu, untuk mobil listrik impor yang justru dibebaskan, bisa ditinjau ulang,” ujarnya.
Pemerintah menargetkan industri otomotif tetap menjadi penopang pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Namun, pergeseran tren pasar cukup tajam. Berdasarkan data Kemenko Perekonomian, pangsa pasar EV meningkat dari 0,1% pada 2019 menjadi 18,4% pada Agustus 2025, sementara kendaraan berbahan bakar fosil turun dari 99,99% menjadi 81,6% pada periode yang sama.
Asisten Deputi Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, menyebut produsen otomotif dapat mengusulkan penurunan tarif BBNKB untuk menekan harga jual. “Mungkin kita mulai dulu pendekatan ke nonpajak, jadi BBN-KB contohnya. Itu dimungkinkan turun,” katanya.
Data penjualan juga menunjukkan pelemahan. Hingga Agustus 2025, penjualan mobil baru tercatat 500.951 unit, turun dari 560.552 unit pada periode yang sama tahun lalu.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, meminta pemerintah memberi stimulus jangka pendek seperti insentif pajak era pandemi Covid-19. “Kalau ada obat mujarab yang segera bisa memberikan kondisi lebih baik, pastinya bisa naik. Kita tunggu kebijakan insentif jangka pendek hingga menengah,” ujarnya.
Baca Juga: GAIKINDO Sarankan Pabrikan Otomotif Harus Manfaatkan Peluang Ekspor Mobil Listrik ke Chile
Sementara itu, industri komponen mempertanyakan efektivitas kebijakan insentif EV. Sekjen Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Rachmat Basuki, mengatakan hingga kini belum ada kesepakatan lokalisasi komponen dengan pabrikan EV besar seperti BYD meski penjajakan sudah dilakukan setahun terakhir.
Padahal, insentif impor EV akan berakhir pada 31 Desember 2025. Mulai 2026, pabrikan diwajibkan memenuhi komitmen produksi lokal sesuai peta jalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Jika gagal, pemerintah dapat mencairkan bank garansi yang sudah disetor.
“Sepertinya masalah cost. Mungkin belum sepakat soal harga atau term of payment. Jadi lokalisasi belum berjalan,” kata Basuki.
GIAMM meminta pemerintah memberikan insentif berbasis TKDN agar produsen EV termotivasi menyerap komponen lokal. “Semakin TKDN tinggi, semakin dikasih insentif. Jangan cuma assembling dapat TKDN 30%, dampaknya kecil untuk industri lokal,” tambahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement