China Makin Intens Tanamkan Pengaruh, ASEAN Diimbau Perkuat Sentralitas
Kredit Foto: Istimewa
“Misalnya, ASEAN mengalami kesulitan untuk bersuara lantang menghadapi China ketika negara itu melakukan tindakan agresif melalui kapal-kapal penjaga pantainya terhadap Filipina,” pungkasnya.
Baca Juga: 10 Tahun Lalu China Industri Otomotif Belum Sebombastis Sekarang yang Punya Ratusan Produsen Mobil
Dalam pandangan Eva Kurniati Situmorang, diplomat ahli madya yang bertugas pada Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri, ASEAN memang mengambil pendekatan pragmatik yang berupaya menjaga hubungan baik bukan hanya dengan China tetapi juga dengan kekuatan-kekuatan besar lainnya.
Menurut Eva, Indonesia sepenuhnya mendukung kepemimpinan Malaysia sebagai ketua ASEAN, yang dalam pandangannya sangat berkomitmen untuk memperkuat sentralitas ASEAN, meningkatkan perdagangan dan investasi antar negara ASEAN dan memperkuat inklusifivitas dan keberlangsungan dalam kawasan ASEAN.
Perihal hubungan antara kawasan Asia Tenggara dan RRC, Eva mengakui bahwa terdapat keuntungan dan resiko dari upaya RRC menanamkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Resep mujarab untuk mengatasi resiko itu adalah dengan tidak bergantung pada pihak mana pun, tetapi justru makin memperkuat sentralitas ASEAN.
“Indonesia berkomitmen pada Sentralitas ASEAN, dan percaya bahwa mekanisme yang dipimpin ASEAN merupakan kerangka kerja terbaik dalam menghadapi tantangan-tantangan dari luar,” pungkas Eva.
Profesor dari Departmen Ilmu Politik National University of Singapore, Ian Chong, mengingatkan bahwa RRC yang dihadapi oleh Asia Tenggara saat ini berbeda dari RRC pada era 1990-an. “Kita harus berurusan dengan RRC karena kedekatan jarak dengan kawasan kita. Ini adalah hal yang harus dihadapi oleh siapapun yang menjadi ketua ASEAN,” tutur Ian.
Baca Juga: Meski Ditekan Trump, China Optimistis Pertahankan Pertumbuhan Ekonomi
Menurutnya, salah satu isu yang kompleks dan harus dihadapi ASEAN dalam kaitan dengan China adalah sengketa di LCS. “Memang, telah terjadi dialog antara masing-masing pihak, dan telah berlangsung diskusi terus menerus tentang kode perilaku, tetapi saya menduga belum akan ada penyelesaian segera,” tuturnya.
Dalam pandangan Ian, salah satu yang mempekeruh permasalahan adalah keputusan RRC untuk tidak menghargai hasil keputusan arbitrase internasional tahun 2016, walau RRC adalah salah satu dari negara-negara yang menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Padahal, menurutnya, ini menimbulkan permasalahan karena bagi negara-negara Asia Tenggara, kepastian dan kejelasan hukum merupakan salah satu kunci yang diandalkan untuk memaksa negara-negara besar lebih menahan diri.
Pemerhati Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Broto Wardoyo, memiliki pandangan yang sedikit berbeda namun menarik. Menurutnya, China tak akan mampu memaksa ASEAN untuk mengambil sebuah keputusan bulat yang akan membahayakan kepentingan mereka sendiri.
Karenanya, Broto beranggapan bahwa strategi pragmatis yang paling tepat bagi China adalah menjaga status quo. Broto mengakui bahwa kehadiran dan pengaruh China di Asia Tenggara memang meningkat, namun kompleksitas yang mewarnai pengambilan keputusan di ASEAN justru menjadi penghambat yang menghalangi China untuk memaksa ASEAN mengambil keputusan dengan suara bulat.
Namun Broto juga mengomentari politik luar negeri Indonesia yang akhir-akhir ini menurutnya telah bergeser dari kebijakan yang berpusat pada ASEAN menjadi kebijakan luar negeri yang makin beragam.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Advertisement