Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kartu Kredit Pemerintah: Transformasi Keuangan Negara

Oleh: Trisfla Delvia, JF PTPN Mahir KPPN Pematang Siantar

Kartu Kredit Pemerintah: Transformasi Keuangan Negara Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Medan -

Dalam era digitalisasi dan modernisasi pengelolaan keuangan negara, pemerintah terus berupaya meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran. 

Salah satu inovasi strategis yang dihadirkan adalah Kartu Kredit Pemerintah (KKP). Instrumen ini bukan sekadar alat pembayaran, tetapi juga bagian dari reformasi birokrasi untuk mendukung tata kelola keuangan negara yang lebih profesional dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Dengan adanya KKP, proses pembayaran yang sebelumnya memerlukan uang tunai dalam jumlah besar kini dapat dilakukan secara nontunai, sehingga lebih aman, cepat, dan terpantau.

Baca Juga: Pemerintah Optimis Bisa Capai Ekonomi 5,2% pada Akhir 2025

Kartu Kredit Pemerintah merupakan alat pembayaran nontunai yang digunakan oleh satuan kerja (satker) untuk membiayai belanja yang dibebankan pada APBN. Mekanismenya mirip dengan kartu kredit pribadi, di mana pembayaran kepada penyedia barang atau jasa dilakukan terlebih dahulu oleh bank penerbit, kemudian satker melunasi kewajiban tersebut sesuai jatuh tempo yang disepakati. 

Dengan cara ini, satker memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kegiatan tanpa harus menunggu pencairan dana tunai. Hal ini sangat membantu terutama ketika ada kebutuhan mendesak, seperti pembelian tiket perjalanan dinas atau pengadaan barang yang harus segera dilakukan.

Penggunaan KKP memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas, sehingga memberikan kepastian bagi satuan kerja dalam mengimplementasikannya. Kebijakan ini pertama kali diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah.

Regulasi ini mengatur prinsip dasar, ruang lingkup, mekanisme pembayaran, serta peran dan tanggung jawab pihak-pihak terkait. Salah satu ketentuan penting dalam PMK ini adalah proporsi penggunaan Uang Persediaan (UP), di mana minimal 40% dari total UP harus dialokasikan melalui KKP. 

Ketentuan ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada transaksi tunai dan menekan idle cash di kas negara. Selain itu, PMK ini juga menekankan prinsip keamanan, akuntabilitas, dan efektivitas dalam setiap transaksi, sehingga risiko penyimpangan dapat diminimalisasi.

Seiring perkembangan, kebijakan ini diperbarui melalui PMK Nomor 97/PMK.05/2021 yang memperkuat aspek pemberdayaan ekonomi nasional. Perubahan ini menegaskan kewajiban satuan kerja untuk memprioritaskan belanja produk dalam negeri, khususnya yang dihasilkan oleh Usaha Mikro dan Kecil (UMK), melalui platform e-Katalog dan marketplace pemerintah.

Dengan demikian, KKP tidak hanya menjadi instrumen pengelolaan keuangan, tetapi juga sarana strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui belanja pemerintah yang berpihak pada produk lokal. 

Kebijakan ini sejalan dengan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) dan program pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang semakin terbiasa dengan transaksi digital.

Dalam praktiknya, KKP digunakan untuk membiayai berbagai jenis belanja, baik belanja operasional maupun belanja perjalanan dinas. Untuk belanja operasional, KKP dapat digunakan untuk keperluan perkantoran, pemeliharaan gedung dan peralatan, hingga belanja sewa dan belanja modal. 

Sementara itu, untuk perjalanan dinas, KKP mempermudah pembayaran transportasi, akomodasi, dan sewa kendaraan. Dengan adanya KKP, pegawai tidak perlu lagi mengeluarkan biaya pribadi terlebih dahulu atau menunggu uang muka dari bendahara, sehingga pelaksanaan kegiatan menjadi lebih lancar.

Namun, penggunaan KKP tetap memiliki batasan nilai transaksi. Untuk pembayaran melalui e- Katalog atau marketplace pemerintah seperti Digipay, batas maksimal adalah Rp200 juta per penerima pembayaran. 

Sedangkan untuk transaksi di luar platform tersebut, batas maksimalnya dalah Rp50 juta per penerima pembayaran. Ketentuan ini dibuat untuk memastikan penggunaan KKP tetap terkendali dan sesuai dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara.

Manfaat KKP bagi satuan kerja sangat signifikan. Pertama, KKP meningkatkan efisiensi pengelolaan uang persediaan. Dengan berkurangnya kebutuhan uang tunai, risiko penyimpanan uang dalam jumlah besar dapat diminimalkan. 

Selain itu, dana negara baru keluar saat tagihan dibayar, bukan saat transaksi dilakukan, sehingga mengurangi idle cash dan menekan biaya dana.

Kedua, KKP meminimalisasi risiko dan potensi fraud. Transaksi tunai rawan kehilangan, pencurian, dan manipulasi bukti pengeluaran. Dengan KKP, setiap transaksi tercatat secara elektronik, sehingga jejak audit lebih jelas dan sulit dimanipulasi. Praktik seperti kuitansi fiktif atau mark-up harga dapat ditekan secara signifikan.

Selain itu, KKP juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Setiap pembayaran melalui KKP terekam dalam sistem perbankan yang terintegrasi, sehingga memudahkan proses verifikasi, rekonsiliasi, dan audit oleh aparat pengawasan internal maupun eksternal. Hal ini mendukung terciptanya tata kelola keuangan yang bersih dan akuntabel. 

Tidak kalah penting, KKP mempercepat pelaksanaan kegiatan. Pegawai tidak perlu menunggu pencairan uang muka dari bendahara, sehingga pemesanan tiket perjalanan dinas, akomodasi, atau pengadaan barang mendesak dapat dilakukan segera. Dengan demikian, program kerja dapat berjalan sesuai jadwal tanpa hambatan administratif.

Manfaat lainnya adalah dukungan terhadap UMK dan produk dalam negeri. Melalui kewajiban penggunaan platform e-Katalog dan marketplace pemerintah, KKP mendorong pemberdayaan UMK dan penggunaan produk lokal. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional melalui belanja negara yang berpihak pada pelaku usaha kecil.

Meski manfaatnya besar, implementasi KKP tidak lepas dari tantangan. Sebagian satker masih menunjukkan resistensi terhadap perubahan karena sudah terbiasa dengan pola lama berbasis tunai. 

Selain itu, keterbatasan infrastruktur juga menjadi kendala, karena tidak semua penyedia barang atau jasa memiliki fasilitas EDC atau akses ke marketplace pemerintah. Risiko penyalahgunaan juga tetap ada jika pengawasan internal lemah, misalnya penggunaan KKP untuk transaksi di luar ketentuan. 

Di sisi lain, pemahaman pengguna KKP, termasuk PPK dan bendahara, masih perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan administrasi yang dapat berimplikasi pada temuan audit.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan strategi implementasi yang tepat. Satker perlu menyusun SOP internal terkait pengelolaan KKP, melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala, serta memberikan pelatihan intensif kepada pemegang kartu dan administrator.

Pengawasan berlapis oleh KPA, PPK, dan PPSPM juga harus diperkuat agar penggunaan KKP sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan langkah-langkah ini, KKP dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mendukung pengelolaan keuangan negara yang lebih modern dan akuntabel.

Baca Juga: Pemerintah Siapkan Diskon Transportasi Nataru untuk Ringankan Masyarakat

Pada akhirnya, Kartu Kredit Pemerintah adalah inovasi penting dalam modernisasi pengelolaan keuangan negara. Dengan penerapan yang tepat, KKP mampu meningkatkan efisiensi, memperkuat transparansi, dan menekan potensi penyimpangan. 

Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen satuan kerja dalam menjalankan aturan, memperkuat pengawasan, dan memanfaatkan teknologi secara optimal.

Jika semua pihak dapat bersinergi, KKP bukan hanya menjadi alat pembayaran, tetapi juga simbol transformasi menuju tata kelola keuangan negara yang lebih baik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: