- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Nanas 7 Kilo Tumbuh di Atas Batu, Cerita Ajaib dari Wasuponda Berkat Sentuhan PT Vale
Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Siapa sangka, lahan gersang yang dulu kerap dilalap api di Desa Tabbarano, Kecamatan Wasuponda, kini berubah menjadi hamparan hijau dengan buah nanas manis seberat tujuh kilogram.
Dari tanah tandus, lahir kisah inspiratif tentang kemandirian, kolaborasi, dan semangat bangkit bersama.
Di balik transformasi itu, ada tangan-tangan gigih warga dan pendampingan dari PT Vale Indonesia yang merupakan anggota Holding BUMN Industri Pertambangan Indonesia, MIND ID, melalui Program Terpadu Pengembangan Masyarakat (PTPM) Livelihood.
“Lahan ini dulu masuk kategori kritis. Setiap ditanami apa pun, hasilnya tak pernah bagus. Sayur layu, buah tidak berbuah. Bahkan tiap tahun desa harus siapkan anggaran untuk padamkan kebakaran,” kenang Sainab Husain Paragay, Senior Coordinator PTPM Livelihood PT Vale.
Dari Lahan Kritis ke Simbol Kearifan Lokal
Hasil asesmen tim Vale menunjukkan kadar pH tanah di lokasi itu sangat rendah—hanya 4 hingga 5. Selain itu, kandungan silika yang tinggi membuat lahan mudah kering dan rawan terbakar.
Namun, dari pertemuan dan diskusi bersama pemerintah desa, muncul ide untuk menanam sesuatu yang tahan cuaca ekstrem sekaligus punya nilai budaya.

Sainab Husain Paragay, Senior Coordinator PTPM Livelihood PT Vale
“Dari kearifan lokal, kami temukan bahwa nama Wasuponda itu sendiri berasal dari bahasa Padoe, dari kata wasu (batu) dan ponda (nanas). Artinya, nanas yang tumbuh di atas batu. Maka kami pilihlah nanas sebagai tanaman utama,” tutur Sainab.
Program itu mulai dirintis pada 2022 oleh pemerintah desa, dan setahun kemudian PT Vale ikut memberikan dukungan pendampingan teknis, bantuan infrastruktur, hingga pengembangan agroeduwisata.
Hasilnya kini bisa dilihat langsung: kebun seluas 5 hektar dengan lebih dari 30 ribu pohon nanas organik tumbuh subur di atas lahan yang dulu disebut “mati.”
Panen Manis di Tanah Kering
Ketua Kelompok Tani Agrowisata Nanas Pondata Yohanis Gusti menyebut kebun nanas mereka telah dua kali panen dengan hasil yang berlipat.
“Panen pertama sekitar 500 kilogram dari 700 pohon. Sekarang sudah hampir 800 kilo dan masih berlanjut,” ujarnya.
Ia menjelaskan, rata-rata bobot nanas mencapai 4 kilogram per buah, dan ada yang bisa menembus 7 kilogram.

Semua dikelola tanpa bahan kimia. “Kami 100 persen organik. Pupuknya dari kompos, pestisidanya dari bahan alami sekitar kebun. Kami juga bikin rumah kompos dan rumah magot untuk mendukung keberlanjutan,” lanjut Yohanis.
Ekonomi Ibu-Ibu, Ilmu yang Tak Kalah Berbuah
Tak hanya sektor tani yang bergerak, ekonomi perempuan di desa pun ikut tumbuh. Kelompok pengelola produk turunan nanas dengan beranggotakan 12 ibu rumah tangga mulai memproduksi selai, dodol, asinan, sirup, hingga keripik nanas dengan merek Pondata.
“Dulu kami hanya di rumah, sekarang punya kegiatan dan penghasilan tambahan. Ilmu baru juga kami dapat, seperti membuat dodol dan sirup nanas,” kata salah satu anggota kelompok sambil tersenyum.
Nama Pondatasendiri punya makna dalam: berasal dari gabungan kata ponda (nanas) dan ta (kita atau Tabbarano). Namun, warga mendengar dari para tetua bahwa Pondata juga berarti“bangkit bersama.”

Dari Serat Daun ke Serat Harapan
Ke depan, kelompok ini berencana mengolah limbah daun nanas menjadi serat untuk tenun, tas, dan produk kerajinan ekspor.
“Sudah kami pelajari prosesnya. Tahun depan semoga bisa kami wujudkan,” ungkap Yohanis.
Dengan dukungan dari PT Vale dan pemerintah desa, Tabbarano kini menapaki babak baru: dari desa yang dulu terbakar setiap musim kemarau, menjadi desa yang berbuah manis setiap musim panen.
Bagi warga Wasuponda, kebun nanas ini bukan sekadar ladang penghidupan, tapi simbol kebangkitan—tentang bagaimana dari tanah tandus, mereka benar-benar bangkit bersama.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement