Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Untung Rugi Ubah Batu Bara Jadi LPG

Untung Rugi Ubah Batu Bara Jadi LPG Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) terus menjadi sorotan publik mengingat tujuannya yang diharap mampu menutupi gap kebutuhan LPG dalam negeri yang terus meningkat.

Terbaru, PT Pertamina (Persero) menyatakan kesiapannya untuk ikut ambil bagian. Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menegaskan komitmen perusahaan untuk terlibat dalam program tersebut sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian energi nasional.

“Harusnya ikut ya. Karena kalau yang dulu kan program waktu itu dengan Air Products dan lain-lain, itu harusnya ada dengan Pertamina juga ya, tentunya sama lah,” ujar Simon saat menghadiri pelantikan ketua BPH Migas di KESDM, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Baca Juga: Komisi XII Hilirisasi Batubara Jangan Cuma DME

Menurutnya, proyek DME memiliki potensi besar untuk memberi manfaat bagi masyarakat melalui harga energi yang lebih murah dan emisi yang lebih rendah. 

“Tentunya hasilnya lebih bagus, masyarakat akan mendapat manfaat lebih bagus, harga mungkin lebih murah, emisi lebih rendah. Wah udah itu kita kolaborasi semua. Jadi harus selalu kolaborasi,” imbuhnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menekankan pentingnya proyek DME sebagai substitusi impor LPG yang terus meningkat.

“Kita membutuhkan LPG kurang lebih sekitar 1,2 juta ton per tahun. Maka konsumsi kita nanti ke depan, di 2026, itu sudah mencapai hampir 10 juta ton LPG. Tidak bisa kita lama, kita harus segera membangun industri-industri dalam negeri,” kata Bahlil selepas rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (6/11/2025).

Baca Juga: Laporan Ember: Permintaan Batu Bara Turun, Emisi Metana Justru Meledak

Proyek DME sendiri termasuk dalam 18 proyek prioritas nasional yang sudah diserahkan studi kelayakannya (FS) kepada Danantar dengan total nilai investasi mencapai USD 38,63 miliar atau sekitar Rp618 triliun. Produksi DME direncanakan dilakukan di Bulungan, Kutai Timur, Kota Baru, Muara Enim, Pali, dan Banyuasin.

Sementara, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mematok langkah konkret dalam strategi hilirisasi batu bara dengan menargetkan dimulainya groundbreaking pabrik DME (dimethyl ether) pada 2026.

Direktur Hilirisasi dan Diversifikasi Produk PTBA, Turino Yulianto, mengatakan perusahaan sudah menyiapkan infrastruktur dan pasokan batu bara untuk menopang proyek skala besar tersebut.

Turino menegaskan PTBA telah “mengunci” 800 juta ton batu bara untuk keperluan hilirisasi, tidak hanya DME. Langkah ini dimaksudkan untuk memberi kepastian suplai kepada investor dan pabrik yang membutuhkan jangka panjang.  

Turino menyebut satu pabrik DME membutuhkan pasokan batu bara sebesar 5 hingga 6 juta ton per tahun. Dengan rata-rata umur industri sekitar 20 tahun, maka dibutuhkan jaminan pasokan 100–120 juta ton.

Baca Juga: Produksi Batu Bara PTBA Tumbuh 9% di Tengah Lesunya Harga Global

"Kami lock 800 juta ton itu di Sumatera Selatan dan di Riau. Ini khusus hilirisasi. Jadi dari sisi suplai bahan baku sudah ready, nih,” kata Turino dalam Hipmi-Danantara Indonesia Business Forum 2025, di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Masalah Lama: Keekonomian yang Belum Masuk

Namun di balik semangat itu, proyek DME tetap menyimpan tanda tanya besar soal keekonomian. Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama mandeknya proyek ini adalah harga pokok produksi yang tidak ekonomis.

“Ketika batu bara, yang merupakan energi primer, diubah menjadi gas yang juga merupakan energi primer, tentu ada biaya produksi yang terlibat. Masalahnya adalah pada harga pokok produksi,” ujarnya.
Menurut Bambang, PT Bukit Asam (PTBA) sebenarnya tidak menolak melanjutkan proyek, namun memerlukan penugasan khusus dari pemerintah agar selisih harga dan mekanisme subsidi bisa diatur dengan jelas.

“Selama ada penugasan dari pemerintah dan pengaturan terkait selisih biaya tersebut, maka tidak ada masalah,” katanya di Jakarta, Rabu (18/3/2025).

Tantangan Teknis: Konsumsi Air yang Sangat Besar

Tantangan lain datang dari sisi teknis. Mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar menyoroti kebutuhan air dalam jumlah besar dalam proses produksi DME.

Baca Juga: Rosan Roeslani Pastikan Proyek DME Dievaluasi Menyeluruh Sebelum Dimulai Lagi

“Kita butuh air yang banyak. Kita injekkan, menjadi CO, karbon monoksida, tambah hidrogen. Itu namanya syngas. Dari syngas itu bisa turun jadi synthetic fuel, bisa menjadi LPG sintetik, dan lainnya,” ujar Arcandra ucapnya dalam salah satu podcast YouTube dikutip, Kamis (23/10/2025).

Ia memperingatkan, kebutuhan air yang besar ini dapat menimbulkan masalah lingkungan di daerah penghasil batu bara yang sebagian besar tidak memiliki sumber air berlimpah.

“Seberapa pun jumlah DME yang ingin diproduksi, maka jumlah air yang dibutuhkan akan lebih besar. Di Amerika pun ada negara bagian yang menolak teknologi ini karena takut danau mereka kering,” tambahnya.

Harga Masih Lebih Mahal dari LPG

Selain itu, dari sisi harga, DME dinilai belum kompetitif dibanding LPG. Arcandra memaparkan, harga DME ekuivalen bisa 30% lebih mahal dibanding LPG nonsubsidi.

Baca Juga: Terminal LPG Tanjung Sekong, Pasok 40% Kebutuhan Nasional

“Kalau LPG nonsubsidi 10 kilogram sekarang sekitar Rp220 ribu, maka DME dengan berat ekuivalen bisa 30% lebih mahal. Secara teknis visibel, yes. Tapi secara komersial, no,” tegasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: