Kredit Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan batik bukan hanya produk industri, namun juga sebagai simbol kebudayaan yang telah diakui dunia.
Sehingga dirinya mendorong pemenuhan standar mutu nasional bagi industri kecil dan menengah (IKM) batik sebagai langkah memastikan keaslian, kualitas, dan keberlanjutan warisan budaya batik Indonesia.
Baca Juga: Ciptakan Industri Berkelanjutan, Ini Langkah Strategis Kemenperin
"Karena itu mutunya harus dijaga melalui standardisasi yang sesuai kaidah produksi batik asli. Penerapan SNI Batik akan memperkuat kepercayaan konsumen dan sekaligus membuka pasar yang lebih luas, termasuk pasar ekspor," ucapnya, dikutip dari siaran pers Kemenperin, Senin (24/11).
Menperin juga menyampaikan apresiasi terhadap sinergi antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJIKB). Menurutnya, kolaborasi ini menjadi fondasi untuk mempercepat penerapan SNI bagi lebih banyak pelaku usaha batik di seluruh wilayah Indonesia.
“Kami menilai langkah kolaboratif seperti bimbingan teknis dan fasilitasi sertifikasi adalah kunci dalam memperkuat struktur industri batik nasional,” ujar Agus.
Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (Ditjen IKMA) bersama BBSPJIKB terus menjalin kolaborasi strategis dengan BSN dalam memperluas penerapan SNI pada produk batik. Direktur Jenderal IKMA Reni Yanita menjelaskan, batik merupakan warisan budaya takbenda Indonesia yang telah diakui UNESCO sejak 2009, sehingga keaslian proses produksinya harus dipertahankan melalui penerapan standar yang tepat.
Selain itu, Reni menjelaskan bahwa karakteristik batik asli telah tertuang dalam SNI 0239:2019, yang kemudian dirinci lebih lanjut jenis-jenisnya, yaitu batik tulis (SNI 8302:2016), batik cap (SNI 8303:2016), dan batik kombinasi (SNI 8304:2016) yang merupakan gabungan antara batik tulis dan batik cap.
Keaslian batik ditandai dengan penggunaan malam panas sebagai perintang warna, pemakaian canting tulis atau canting cap sebagai alat utama pencipta motif, serta keberadaan makna pada setiap motif yang dihasilkan.
“Dengan adanya SNI, pembeli bisa lebih mudah membedakan mana batik asli dan mana kain bermotif batik atau batik print yang menggunakan proses industri massal. Standar ini bertujuan menjaga kualitas dan memastikan praktik produksi batik berjalan sesuai pakem yang benar,” jelas Reni.
Ditjen IKMA sebelumnya telah menyelenggarakan webinar mengenai standardisasi batik sebagai bentuk edukasi kepada pelaku IKM. Upaya tersebut dilanjutkan melalui fasilitasi SNI bagi IKM batik binaan, bekerja sama dengan BSN dan BBSPJIKB.
Kolaborasi ini diwujudkan secara konkret melalui kegiatan Bimbingan Teknis Penerapan SNI bertema “IKM Batik Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya Sukses Ber-SNI” yang dilaksanakan pada 21 Oktober 2025 di Yogyakarta. Sebanyak 15 IKM mengikuti pendampingan tersebut, sementara tujuh IKM lainnya berhasil menerima fasilitasi sertifikat SNI Batik, yakni Batik Geulis Handayani, CV Karya Satu Rumah, Batik Duo Serangkai, Soendari Batik, Bengkel Batik, Vandriel Batik, dan Gifara Batik.
Reni berharap kegiatan ini menjadi penggerak bagi wilayah lain untuk mengadopsi standardisasi serupa sehingga jumlah perajin batik ber-SNI dapat terus meningkat. “Inisiatif seperti ini penting untuk mempertebal fondasi industri batik nasional dan memastikan keberlanjutannya di masa depan,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement