HRTA Sambut Positif Tahun 2026 Melalui Strategi Hilirisasi dan Penguatan Ekosistem Emas Nasional
Kredit Foto: Istimewa
Industri emas di Indonesia diproyeksikan memasuki babak baru menjelang tahun 2026. Kondisi ini dipengaruhi oleh perpaduan tren pasar global serta kebijakan pemerintah yang berfokus pada penguatan nilai tambah industri di dalam negeri. Hingga penghujung 2025, harga emas dunia tetap bertahan di level tinggi yang dipicu oleh aksi beli bank sentral global, rencana pelonggaran moneter, serta dinamika geopolitik dan ekonomi dunia.
Thendra Crisnanda, Direktur Investor Relations PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA), berpendapat bahwa situasi tersebut menandakan adanya perubahan struktural pada fungsi emas, baik di skala internasional maupun domestik. Perubahan ini berkaitan dengan cara pelaku pasar memandang emas sebagai salah satu aset penting dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi saat ini.
Mengenai fenomena tersebut, Thendra memberikan penjelasan terkait pergeseran minat terhadap emas.
“Kami melihat emas semakin diposisikan sebagai aset strategis jangka panjang, bukan hanya instrumen lindung nilai saat krisis. Permintaan yang kuat dari bank sentral dan investor global menunjukkan adanya pergeseran cara pandang terhadap emas, terutama di tengah meningkatnya tekanan utang dan ketidakpastian ekonomi,” ujarnya.
Baca Juga: HRTA Catat Permintaan Emas Stabil Jelang Akhir Tahun, Buka Peluang Baru di Tengah Tren Harga Terkini
Berdasarkan laporan World Gold Council dan Reuters, bank sentral dunia melanjutkan pembelian emas dalam volume besar hingga akhir 2025. Emas dipandang sebagai aset untuk menghadapi risiko debt debasement, seiring meningkatnya beban utang dan potensi pelemahan mata uang. Di Amerika Serikat, total utang pemerintah tercatat terus meningkat dengan laju sekitar USD1 triliun setiap 100 hari pada paruh akhir 2025, memperkuat daya tarik emas sebagai penyimpan nilai jangka panjang.
Di dalam negeri, arah kebijakan juga menunjukkan dukungan terhadap penguatan industri emas nasional. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan pajak ekspor emas yang akan berlaku mulai 2026, dengan tarif 7,5% hingga 15% berdasarkan tingkat pemrosesan dan harga emas global. Kebijakan ini diproyeksikan mendorong peningkatan pasokan emas untuk pasar domestik sekaligus memperkuat industri pemurnian dan manufaktur lokal.
Menurut Thendra, kebijakan tersebut berpotensi mempercepat pembentukan ekosistem emas nasional yang lebih seimbang.
“Dorongan untuk meningkatkan pemrosesan emas di dalam negeri sejalan dengan kebutuhan industri saat ini. Dengan rantai pasok yang lebih kuat, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan menciptakan nilai tambah yang lebih besar,” jelasnya.
Sebagai perusahaan emas yang terintegrasi, HRTA memandang momentum ini sebagai peluang strategis. Hingga kuartal III-2025, porsi ekspor HRTA tercatat hanya sekitar 0,39%, mencerminkan fokus Perseroan pada pemenuhan permintaan domestik, khususnya sejak pengembangan ekosistem Bullion Bank. HRTA juga telah meningkatkan kapasitas fasilitas refinery hingga mampu memurnikan 30 ton emas per tahun untuk mendukung kebutuhan pengolahan dalam negeri secara berkelanjutan.
Dari sisi outlook, dinamika harga emas ke depan masih akan dipengaruhi oleh kebijakan moneter global. Sejalan dengan hal tersebut, harga emas per 22 Desember 2025 kembali mencatatkan rekor tertingginya yakni USD 4.400/oz, naik +3,97% MTD, sementara harga dalam Rupiah mencapai Rp 2.374.443/gram, menguat +4,7% MTD. Kenaikan ini terutama terdorong oleh pemangkasan suku bunga The Fed yang menurunkan real yield ke level 3,50%–3,75% pada 10 Desember 2025.
Baca Juga: Harga Emas Menguat, Perak Kembali Cetak All Time High!
Di sisi domestik, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga di 4,75% untuk menjaga stabilitas Rupiah dan menahan arus modal keluar. Kombinasi antara penurunan suku bunga AS dan fluktuasi Rupiah membuat emas dalam Rupiah menguat lebih besar dibandingkan dalam USD, sekaligus menjaga daya tariknya sebagai aset lindung nilai bagi investor dan konsumen.
Melihat ke depan, harga emas masih akan dipengaruhi kebijakan moneter global, terutama hasil pertemuan FOMC dan data inflasi AS (CPI). Tekanan inflasi yang mereda bisa membuka peluang pemangkasan suku bunga lebih lanjut, yang berpotensi menopang harga emas. Sementara itu, pasar memperkirakan Bank Indonesia tetap berhati-hati, tetapi cenderung lebih dovish, sehingga emas diperkirakan akan tetap menarik sebagai aset lindung nilai sepanjang 2026.
“Dengan berbagai faktor tersebut, kami melihat emas akan tetap relevan sebagai aset strategis. Fokus kami ke depan adalah memastikan kesiapan operasional dan ekosistem agar dapat menangkap peluang pertumbuhan secara berkelanjutan di tengah perubahan struktural industri emas,” tutup Thendra.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement