Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Hadapi Tantangan Besar Perdagangan Internasional

Indonesia Hadapi Tantangan Besar Perdagangan Internasional Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam perdagangan internasional tahun ini, mulai dari target pertumbuhan ekonomi, usaha peningkatkan ekspor dan kebijakan-kebijakan dari negara lain terhadap Indonesia.

Hal itu dikatakan Sekretaris Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Ari Satria dalam acara ASEAN Business Talks di Jakarta, Kamis (13/4/2017).

"Perkembangan ekonomi kita dalam beberapa tahun terakhir cukup lambat, dan kami berharap dapat meningkatkannya pada tahun 2017-2018, dengan proyeksi kurang lebih 5,1 hingga 5,3 persen," katanya.

Dia mengatakan selain proyeksi pertumbuhan ekonomi itu, Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor Indonesia tahun ini sebesar 5,63 persen untuk produk-produk non-migas.

Pangsa pasar yang dibicarakan juga akan mulai meluas hingga ke wilayah Afrika, banyak potensi perdagangan yang dapat dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara di Afrika melalui perjanjian-perjanjian pasar bebas (FTA) bilateral antara Indonesia dengan negara terkait.

"Negara-negara tujuan ekspor terbesar kita ada Amerika Serikat, China, Jepang, India dan Singapura. Selain ASEAN sebagai target perdagangan terdekat kita, pasar di luar ASEAN juga masih sangat luas dan dapat kita maksimalkan potensinya, salah satunya di Afrika," katanya.

"Untuk awalnya kita akan berfokus kepada Afrika Selatan, Kenya, Mozambik dan Nigeria".

Selain perluasan pangsa pasar melalui FTA di beberapa negara Afrika, dia juga menyinggung aspek logistik dalam perdagangan internasional yang sering menjadi permasalahan bagi industri kecil dan menengah untuk lebih aktif dalam ekspor.

"Untuk ASEAN sendiri, tarif logistik mahal itu dikarenakan jasa pengiriman yang aktif adalah milik asing," kata mantan Atase Perdagangan itu.

Pemerintah bersama kementerian terkait telah mengeluarkan 14 paket kebijakan ekonomi dan sedang berdiskusi untuk kebijakan yang ke-15, kebijakan terbaru itu membahas sisi logistik dimana kita akan mewajibkan ekspor komoditas tertentu untuk menggunakan jasa pelayaran logistik nasional.

Dia berharap kebijakan yang masih dalam tahap penelitian itu juga dapat meningkatkan industri pelayaran logistik nasional.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah kebijakan perdagangan luar negeri dari negara lain.

Dia mencontohkan, kebijakan Donald Trump yang memasukkan Indonesia dalam "daftar negara yang melakukan kecurangan perdagangan" dan peningkatan pajak progresif komoditas CPO (Crude Palm Oil) atau Minyak Sawit di Eropa.

Ari menjelaskan bahwa untuk Amerika, kebijakan itu baru saja dikeluarkan dan masih belum berdampak langsung terhadap ekspor Indonesia ke negara itu, namun dia menegaskan bahwa Indonesia bukanlah pihak yang salah.

"Kita selalu berbisnis dengan adil, barang-barang yang kita ekspor ke Amerika merupakan barang-barang komplementer, sehingga seharusnya wajar saja Indonesia mengalami surplus besar karena Amerika tidak melakukan hal yang sama," kata dia saat diwawancarai oleh Antara selepas acara.

"Contohnya udang, mereka membutuhkan, jadi kita jual ke mereka. Begitu pula dengan kopi, tanaman itu hanya tumbuh di iklim tropis dan mereka tidak dapat menumbuhkannya sehingga mereka mengimpor dari kita," tambahnya.

Untuk permasalahan minyak sawit di Eropa sendiri, terutama di Perancis, beliau mengaku bahwa hal tersebut dikarenakan adanya "blackmail" atau berita bohong yang ditujukan terhadap komoditas itu.

"Kami belum tahu siapa, namun sepertinya melibatkan NGO (Organisasi non-pemerintah). Harga minyak sawit kami lebih murah dari komoditas serupa dari negara lain sehingga saya rasa itu memunculkan persaingan yang tidak sehat. Seperti adanya gosip bahwa minyak kami mengandung bahan-bahan berbahaya dan mempekerjakan mereka yang di bawah umur. Namun itu semua tidak benar," dia menjelaskan.

Ari mengatakan pihak kementerian sendiri telah menghubungi parlemen Perancis dan mengundang mereka untuk datang langsung melihat perkebunan sawit di Indonesia untuk membuktikan bahwa rumor-rumor itu tidaklah benar. "Masih belum mendapatkan tanggapan hingga kini, tapi masih berjalan". (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: