Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menilai kebijakan importasi garam yang dilakukan setelah gagal terpenuhinya target garam nasional sebesar 3,2 juta ton pada tahun 2016 dinilai perlu dievaluasi.
"Padahal, besaran targetnya sudah diturunkan, dari 3,6 juta ton menjadi 3,2 juta ton. Ironisnya, kegagalan ini diperparah dengan kebijakan importasi garam yang merugikan kepentingan petambak garam rakyat," kata Abdul Halim di Jakarta, Rabu (12/4/2017).
Abdul Halim yang juga menjabat Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu mengemukakan hal tersebut menyusul rencana impor garam sebesar 200.000 ton pada semester I-2017 oleh PT. Garam (Persero).
Seperti diketahui, pada tahun 2016, jumlah garam yang diproduksi oleh petambak sebesar 118,054 ton atau hanya 3,7 persen dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 3,2 juta ton.
"Tak dimungkiri, anjloknya produksi garam nasional ini salah satunya akibat curah hujan yang terbilang tinggi. Namun demikian, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan menilai, pemerintah belum melakukan upaya maksimal untuk melindungi petambak garam nasional, baik dalam konteks peningkatan produksi garam maupun pelaksanaan program-program kesejahteraan," katanya.
Untuk itu, ujar dia, seharusnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian atau BUMN yang bekerja di bidang pergaraman untuk berkoordinasi lebih intens, terutama dalam menentukan kebutuhan garam konsumsi dan garam industri, sehingga target kinerja lebih terukur dan upaya untuk menghentikan importasi garam secara bertahap lebih terencana dan mudah dicapai.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal membangun sebanyak enam gudang untuk menyimpan hasil produksi garam rakyat di berbagai daerah pada tahun 2017, menambah dari enam gudang yang dibangun 2016.
"Di 2017, kami bakal membangun enam gudang untuk garam," kata Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta, 10 Januari.
Brahmantya mengungkapkan, keenam gudang untuk komoditas garam yang akan dibangun pada tahun ini antara lain terletak di Brebes, Demak, dan Rembang (ketiganya di Jawa Tengah).
Selain itu, gudang baru lainnya juga akan dibangun di Sampang dan Tuban yang terletak di Jawa Timur, serta di Kupang (NTT).
Pada 2016, gudang untuk produksi garam rakyat telah terbangun di Cirebon dan Indramayu yang terletak di Jawa Barat, Pati (Jateng), Pamekasan (Jatim), Bima (NTB), dan Pangkep (Sulsel).
Berbagai gudang yang telah dan akan dibangun itu menggunakan Standardisasi Nasional Indonesia (SNI). "Membangun satu gudang biasanya membutuhkan waktu tiga sampai enam bulan," kata Brahmantya Satyamurti.
Ia juga mengungkapkan, anggaran yang dialokasikan untuk membangun gudang berkapasitas sekitar 2.000 ton bisa mencapai sekitar Rp2 miliar per gudang.
Selain enam gudang yang telah menggunakan sistem resi gudang tersebut, juga telah terbangun 10.385 meter jalan produksi dan tersalurkannya 489 ribu meter persegi geomembran di 14 kabupaten/kota.
Berdasarkan data KKP, ada 10 sentra produksi garam yaitu Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Bima, Pangkep dan Jeneponto.
Selain itu, ada 20 daerah penyangga yaitu Aceh Besar, Aceh Timur, Pidie, Karawang, Brebes. Demak, Jepara, Tuban, Lamongan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, bangkalan, Buleleng, Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, Kupang, Pohuwato, dan Takalar.
KKP juga telah melakukan MoU (Nota Kesepahaman) dengan PT Garam terkait tata kelola impor garam yang mencakup bantuan manajemen produksi usaha garam rakyat seperti manajemen gudang dan penyerapan garam rakyat. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: