Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendorong dilakukannya reformasi di badan peradilan pajak agar bisa memberikan kepastian hukum dan keadilan terkait perpajakan secara lebih independen.
"Diperlukan reformasi di badan peradilan pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang tengah gencar dilakukan oleh pemerintah," ujar Yustinus saat diskusi publik "Dampak Regulasi Pajak Daerah dan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap Stabilitas Bisnis dan Investasi" di Jakarta, Rabu (11/10/2017).
Menurut dia sebagai badan peradilan yang independen, Pengadilan Pajak seharusnya menjadi muara bagi masyarakat untuk mencari keadilan dan kepastian hukum.
Yustinus mengtakan, kepastian pajak atau tax certainty sendiri merupakan faktor yang sangat penting bagi investor dalam menentukan keputusan lokasi berbisnis dan berinvestasi. Berdasarkan Survey yang dilakukan oleh OECD-IMF, ditunjukkan bahwa pajak merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi berbisnis dan berinvestasi Sedangkan faktor dari pajak yang paling menentukan adalah 'tax certainty' .
Dalam beberapa kasus, misalnya kasus PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), Pemerintah menerbitkan beberapa Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor (SKPD PKB) berdasarkar UU PDRD No. 28 Tahun 2009 (prevailing). Padahal berdasarkan Kontrak Karya, PT NNT seharusnya tidak wajib membayar pajak daerah. Kasus lain juga dialami PT Freeport Indonesia (PT Fl), yaitu diterbitkannya SKPD Pajak Air Permukaan (PAP) berdasarkan UU PDRD No. 28 tahun 2009 (prevailing).
Sehubungan dengan banding atas beberapa masa pajak SKPD PKB PT NNT, putusan yang dihasilkan oleh Majelis Hakim berbeda satu sama lain. Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus sengketa SKPD PKB A menyatakan menerima banding PT NNT, sedangkan Majelis Hakim yang memeriksa sengketa SKPD PKB B menolak "Padahal sengketa-sengketa tersebut serupa. Terlepas dari independensi Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara, putusan yang berbeda atas beberapa kasus yang serupa tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan," kata Yustinus.
Sengketa lainnya yaitu penerbitan SKPD PAP atas pemanfaatan air permukaan oleh PT Fl juga mendapatkan putusan yang tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.
Beberapa hal tidak dipertimbangkan dengan matang oleh Majelis Hakim, antara lain fotocopy surat rekomendasi dinilai meragukan, sehingga Kontrak Karya dinilai tidak sah secara hukum. Padahal surat rekomendasi asli seharusnya disediakan oleh Pemerintah. Selain itu, Kontrak Karya tidak termasuk dalam hierarki dalam UU No. 12 Tahun 2011, sehingga perjanjian yang bersifat khusus (lex specialis) tidak berlaku.
Padahal Pasal 1338 KUHPer menyebutkan perjanjian adalah perikatan yang sah dan berlaku selayaknya UU bagi para pihak (pacta sunt servanda) Selanjutnya, menurut penafsiran majelis, Pasal 18 (2) ii Kontrak Karya mengatur tentang 'air permukaan untuk mengalirkan tailing dikenakan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu".
Padahal pasal tersebut hanya mengatur 'pemberian hak untuk membangun fasilitas". Kemudian, menurut majelis, proses pengaliran tailing menyebabkan terganggunya ekosistem sungai, sedangkan Pasal 13 Kontrak Karya jo. Perda No. 5 Tahun 1990 menyebutkan pengenaan pajak hanya didasarkan pada jumlah air yang dimanfaatkan, bukan efek samping pemanfaatan air tersebut terhadap ekosistem.
Terhadap putusan yang isinya berbeda, Majeis Hakim Agung pada Mahkamah Agung telah satu suara dalam putusan-putusannya, yaitu mengakui kontrak Karya dan PKP2B sebagai lex specialis dan mengikat masing-masing pihak selayaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi salah tafsir majelis hakim dalam memutus perkara terkait dengan Kontrak Karya dan PKP2B.
"Berulangnya putusan yang berbeda-beda akan menciptakan ketidakpastian hukum dan memperburuk iklm investasi di Indonesia," ujar Yustinus.
Ia menambahkan, reformasi sendiri dapat mencakup peningkatan standar rekrutmen hakim pajak, peningkatan kompetensi dan integritas hakim, tata cara peradilan yang mudah, efektif, dan transparan, serta supervisi atau pengawasan yang lebih baik.
"Maka kami meminta Mahkamah Agung menaruh perhatian lebih besar bagi reformasi Pengadilan Pajak dan mendorong Komisi Yudisial untuk melakukan supervisi terhadap Pengadilan Pajak," kata Yustinus. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil