Utang acapkali menjadi momok hangat di ranah perdebatan politik. Utang negara sering dianggap hal negatif dan mirip dengan kondisi utang individu atau personal, sehingga memicu kecemasan traumatik di kalangan masyarakat.
Padahal sebenarnya utang negara bisa menjadi sarana investasi bagi para investor, terutama investor lokal. Hal ini diungkapkan Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW, Budi Hikmat dalam keterangan pers, Senin (18/2/2019).
"Surat utang negara (SUN) semestinya menjadi sarana investasi bagi investor lokal, bukan untuk ditakuti. Hal ini keliru jika memposisikan kondisi kesehatan utang individu dengan utang negara," ungkap Budi Hikmat.
Budi menuturkan, kondisi utang Indonesia masih dalam taraf wajar dan sehat dibandingkan dengan sejumlah negara berkembang lain, seperti Brasil.
Dari data Bloomberg, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai US$1,01 triliun. Sementara, PDB Brazil dua kali lipat dari Indonesia atau US$2.055,51 miliar. Akan tetapi, utang Indonesia berkisar US$293,08 miliar, di mana level utang terjaga stabil pada level 28,9% dari total PDB. Sementara, posisi utang Brazil mencapai US$1,08 triliun atau 84% dari total PDB.
Baca Juga: Utang Pemerintah Jadi Rp2.586 Triliun, Yakin Masih Sehat?
Baca Juga: Duh, Utang Bikin Kepala "Cenat-Cenut"...
"Ini menunjukkan tingkat utang Indonesia terhadap total PDB masih jauh lebih rendah dibandingkan Brazil maupun negara berkembang lain. Semakin besar rasio utang terhadap PDB, maka semakin berat negara harus menanggung utang tersebut. Di samping itu, Indonesia telah memperoleh rating investasi yang baik dari lembaga-lembaga rating dunia," papar Budi.
Dia menambahkan bahwa risiko gagal bayar negara itu nol. Menurutnya, sejak penerbitan surat utang, belum pernah ada kejadian pembayaran kupon atau bagi hasil terlambat atau gagal. Begitu pun pokok utang negara langsung dibayar ketika jatuh tempo.
"Hal ini membuat obligasi negara sebagai investasi yang 'high return, low risk', alias imbal hasil tinggi dengan risiko rendah," imbuhnya.
Menilik data Bloomberg, indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah melonjak sekitar 507,42% selama 10 tahun terakhir, dengan tingkat imbal hasil rata-rata sebesar 19,75% per tahun.
Sementara, Abtrindo Bond Index yang mewakili indeks surat utang negara telah meningkat 170,25% selama 10 tahun atau return rata-rata sebesar 10,44% per tahun. Ini, kata Budi, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun, di mana rata-rata tingkat inflasi naik sekitar 4,69% per tahun.
Menurut pandangan Budi, hal ini menunjukkan hasil investasi di surat utang negara masih jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat rata-rata inflasi Indonesia. Sehingga, memberikan potensi imbal hasil yang lebih tinggi dan risiko rendah ketimbang deposito.
"Sayangnya, kepemilikan surat utang Indonesia ini masih lebih besar didominasi investor asing dibandingkan investor domestik. Total kepemilikan asing di SUN mencapai posisi tertinggi, yakni Rp923 triliun dalam sejarah," bebernya.
Budi berharap semakin banyak investor domestik, terutama generasi milenial, akan memanfaatkan SUN sebagai sarana investasi. Sehingga, pasar obligasi Indonesia tak selalu bergantung pada arus modal asing.
"Apalagi, golongan masyarakat usia produktif di Indonesia sangat besar, sehingga menjanjikan penguatan ekonomi negara ke depan," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti