Sejak November 2018 hingga April 2019, Bank Indonesia (BI) tetap bersikukuh untuk mempertahankan suku bunga acuannya BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 6%.
Padahal sejumlah indikator seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah cukup kuat dan stabil sehingga disinyalir sudah waktunya BI menurunkan suku bunga acuannya.
Namun, defisit transaksi berjalan yang berpotensi tertekan pada kuartal II 2019 dan pemburukan performa ekspor akibat penurunan ekonomi global ternyata menjadi batu sandungan bagi bank sentral untuk menurunkan suku bunga acuannya.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, pihaknya masih melihat risiko kenaikan defisit transaksi berjalan pada kuartal kedua akibat faktor musiman yang didorong oleh pembayaran bunga dan dividen.
"Musiman pada kuartal II 2019, defisit transaksi berjalan memang bergerak naik, tapi kami pastikan akan di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB)," ujar Perry di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Baca Juga: 6 Kali Beruntun, BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 6%
Selain itu, indikator kondisi global saat ini memang lebih ramah bagi prospek aliran modal masuk asing. Misalnya, Fed Fund Rate (FFR) yang diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga pada tahun ini dan tahun depan.
Namun demikian, peran ekspor neto belum kuat sejalan dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan menurunnya harga komoditas. BI mencatat, terjadi penurunan ekspor migas dari US$1,75 miliar pada Desember 2018 menjadi US$1,23 miliar pada Januari 2019.
"FFR tidak jadi naik, tapi ekonomi global menurun sehingga kita perlu mendorong ekspor," terang Perry.
Di sisi lain, indikator pertumbuhan ekonomi cukup baik didorong oleh konsumsi dan investasi. Namun, BI memandang permintaan domestik masih perlu diperkuat agar PDB terus meningkat.
Dari indikator inflasi, BI menegaskan, laju inflasi terkendali. BI meyakini inflasi 2019 akan berada di kisaran sasaran, yakni di bawah 3,5%. Posisi rupiah yang bergerak pada kisaran Rp14.200-14.000 per dolar AS dinilai cukup stabil. Namun, Perry mengungkapkan nilainya masih undervalued.
Faktor lainnya, seperti cadangan devisa dinilai cukup kuat. Aliran dana asing pada kuartal I 2019 mencapai US$5,5 miliar.
Melihat kondisi itu, Perry menegaskan, pihaknya akan memantau stabilitas eksternal pada bulan-bulan berikutnya untuk memastikan neraca pembayaran keseluruhan dapat surplus.
"Kami ingin pastikan pada kuartal II 2019, neraca pembayaran akan surplus," tegasnya.
Baca Juga: BI Prediksi Defisit Transaksi Berjalan Makin Lebar di Kuartal II 2019
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: