Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        (Mencoba) Mengenal Mereka yang Tak Bernama

        (Mencoba) Mengenal Mereka yang Tak Bernama Kredit Foto: Shutterstock
        Warta Ekonomi, Bogor -

        Wajahnya cukup cantik. Perawakannya juga cukup menarik. Kulitnya bersih. Cara dia memadupadankan pakaian juga cukup menunjukkan seleranya yang relatif bagus. Dia juga cukup komunikatif. Gaya bicaranya yang renyah membuat wanita ini mudah akrab saat berbincang dengan banyak orang.

        Namanya Rani. Maharani. Sebut saja dia begitu, karena pada dasarnya tak ada yang tahu pasti siapa nama asli wanita yang mengaku tinggal di Cikeas, Bogor, Jawa Barat ini.

        Pun dengan usianya. Mungkin di kisaran 25 tahun, atau kemungkinan paling tua sekitar 35 tahun. Semua hanya bisa menebak-nebak saja. Satu hal yang kerap kali disampaikannya adalah, dia merupakan menantu dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Presiden ke-6 Indonesia itu.

        Baca Juga: Presiden PKS Mau Sowan, Demokrat Jawab: SBY Sibuk!

        Ya, Anda tidak salah dengar. Rani menantu dari Pak SBY, karena dia adalah istri dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra sulung SBY. Bukannya istri AHY adalah Annisa Pohan yang mantan artis sekaligus anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aulia Pohan, itu?

        "Bukan. Justru Annisa Pohan itu yang merebut AHY dan lalu mengusir saya dari rumah di Cikeas," ujar Rani, singkat. Lho, kok?

        Boleh jadi semua orang bakal bingung dan langsung mengernyitkan dari saat harus terlibat dalam sebuah perbincangan yang nyeleneh seperti halnya di atas. Namun, seketika semua orang juga pasti akan mafhum bila mengetahui latar belakang Rani, yang ternyata adalah Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).

        "Memang banyak yang enggak menyangka karena sehari-hari dia (Rani) cukup mau menjaga diri tetap bersih, wangi, diajak ngobrol juga nyambung, enggak seperti gambaran masyarakat kebanyakan terhadap orang yang biasanya disebut dengan sebutan 'gila'. Kalau kami lebih menyebut mereka dengan ODMK," ujar ujar Triana Rahmawati, pendiri Griya Schizofren, saat ditemui di Solo beberapa waktu lalu.

        Sehari-hari Rani tinggal dan dirawat di Griya PMI Peduli yang berada di bawah naungan kerja Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Solo. Di sana, Rani berbagi tempat tinggal dengan 98 ODMK lainnya, yang terdiri dari 55 pria dan 43 wanita. Sementara itu, bagi pada ODMK yang berusia lanjut oleh Griya PMI Peduli ditempatkan secara terpisah di Griya Bahagia agar mendapatkan perawatan yang lebih intensif dan sesuai.

        "Mereka ini enggak ada yang diketahui asal-usulnya. Bahkan, nama saja kami hanya memanggil sesuai pengakuan mereka masing-masing. Enggak ada data atau identitas sama sekali. Rata-rata mereka ini ditemukan petugas (Griya PMI Peduli) dari jalanan," kata Triana.

        "Enggak bawa apa-apa. Enggak punya apa-apa. Ada juga mereka yang ke sini dulu diantar keluarganya dan tidak pernah lagi dijenguk sama sekali sampai detik ini. Mereka ini semua tanpa nama, tanpa data-data pribadi, karena memang enggak ada yang mau kenal sama mereka. Mereka ini sengaja dibuang oleh masyarakat, bahkan oleh keluarganya sendiri karena malu punya keluarga seperti mereka (ODMK)," tutur Triana.

        Sebagai informasi, Griya Schizofren merupakan sebuah komunitas kecil yang didirikan pada tahun 2012 lalu oleh beberapa mahasiswa jurusan sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo. Sejak didirikan, Griya Schizofren memang concern pada berbagai kegiatan pendampingan terhadap ODMK dengan pendekatan sosial kemasyarakatan. Namun karena keterbatasan personel, Tria dan teman-temannya di Griya Schizofren memilih fokus untuk melakukan pendampingan pada para ODMK di Griya Rumah Peduli.

        "Apakah (Griya Schizofren) enggak buka 'cabang' di tempat lain, di panti-panti ODMK lain di luar Kota Solo atau malah luar Jawa? No. Dengan banyak tempat kami khawatir justru apa yang kami lakukan nanti jadi tidak maksimal. Di tempat lain harapannya agar ada orang atau pihak lain yang juga bergerak. Soal apa yang perlu dilakukan dan sebagainya, kita bisa bekerjasama," tutur Tria.

        Memanusiakan

        Sembari menyeruput segelas milkshake di salah satu kedai tongkrongan mahasiswa di Kawasan UNS Solo, Triana mengisahkan awal mula dirinya terpikir mendirikan Griya Schizofren. Saat itu di sebuah angkringan di dekat kosan tempat dia tinggal, Triana sedang mengantre membeli takjil untuk persiapan berbuka puasa.

        "Saat itu Bulan Ramadhan. Tapi kok ada satu orang yang makan duluan. Saya tanya ke tukang angkringannya, kok itu sudah ada yang adzan (berbuka) duluan? Dijawabnya 'nggak usah digagas (digubris) mbak, wong kuwi kan edan (kan itu orang gila).' Jawaban itu ngena banget di saya karena bagaimana pun kan mereka itu juga manusia. Sama dengan kita. Pengin dimanusiakan juga. Siapa sih orangnya yang suka ketika tidak digubris, tidak di-orang-kan oleh orang lain? Nggak ada," ungkap Triana.

        Berbekal keprihatinan tersebut, Triana beserta beberapa teman dari Griya Schizofren mulai melakukan berbagai kegiatan, yang sebagian besar di antaranya dalam bentuk berinteraksi secara sosial dengan para ODMK. Triana juga bersyukur bahwa idenya tersebut mendapat support dari Griya PMI Peduli sebagai 'tuan rumah' tempat para ODMK ini tinggal dan menghabiskan waktunya sehari-hari.

        "Salah satu cara yang kami pilih untuk memanusiakan mereka (ODMK) adalah menyentuh sisi finansialitasnya. Bagaimana pun sebagai manusia mereka tentu punya kebutuhan seperti makan, minum, misal yang perempuan beli pembalut. Sekadar bedak dan semacamnya untuk bersolek, atau yang cowok anggaplah beli jajan atau rokok. Intinya biarpun ODMK mereka juga tetap butuh uang," tutur Triana.

        Diakuinya, untuk berbagai kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan semacamnya, hal itu sudah ditanggung oleh Griya PMI Peduli. Namun demikian, pendanaan untuk memenuhi kebutuhan itu juga sangat terbatas lantaran Griya PMI Peduli hanya mengandalkan dari dana donasi yang terkumpul, yang secara nominal tentu tidak seberapa. Hal itu masih belum memperhitungkan kebutuhan sekunder para ODMK yang meski terkesan sepele namun dengan jumlah mereka yang hampir mencapai 100 orang, tentu kebutuhannya secara nominal juga tidak bisa diremehkan.

        "Akhirnya kami berinisiatif untuk create something yang bisa dijual. Apa saja. Misal mereka suka menggambar, nanti gambarnya disalin di kain kanvas dan dijadikan tas jinjing sebagai gift. Yang suka cerita atau menulis, kami bukukan dan jual bukunya. Lalu bikin kerajinan. Se-enjoy mereka saja, namun menghasilkan," ungkap Triana.

        Hasil dari aktivitas ekonomi tersebut, dijelaskan Triana, sebagian besar memang dimanfaatkan untuk membantu pendanaan Griya PMI Peduli. Namun sebagian besar di antaranya juga dipercayakan untuk disimpan para ODMK itu sendiri sebagai pegangan ketika mereka sedang keluar dari panti dan berinteraksi dengan masyarakat umum.

        Sembari terus mengajak para ODMK itu untuk menghasilkan produk yang bernilai jual, Griya Schizofren juga secara perlahan menanamkan pemahaman pada mereka soal pentingnya sebagai seorang manusia untuk memiliki penghasilan. Dengan begitu, keberadaan mereka akan lebih dihargai ketika harus bergaul dengan masyarakat luas ketika keluar dari Griya PMI Peduli.

        "Paling enggak ketika mereka keluar (panti) lalu pengin jajan atau beli rokok, mereka tidak minta atau malah mencuri. Mereka punya uang sendiri. Dengan begitu mereka tidak gampang dilecehkan secara sosial," papat Triana.

        Tabungan

        Mengomentari kegiatan yang dijalankan oleh Triana dan teman-temannya di Griya Schizofren, Financial Advisor MoneySmart Indonesia, Ayyi Achmad Hidayah, menyatakan apresiasinya. Menurut Ayyi, pendekatan yang digagas oleh Triana tersebut cukup out of the box namun masih dalam koridor edukasi keuangan dalam bentuk yang lain.

        Bagaimana kegiatan yang dilakukan berusaha memberdayakan kalangan ODMK, yang selama ini harus diakui masih luput dari sotoran berbagai pihak, namun secara riil memang tetap membutuhkan uang seperti manusia pada umumnya.

        "Bagus tuh. Idenya cukup brilian, yaitu memanusiakan manusia, salah satunya melalui pendekatan finansial. Dan itu memang sangat mendasar dan naluriah. Bagaimana pun, manusia pasti butuh uang sebagai penghidupan," ujar Ayyi, dalam kesempatan terpisah.

        Karena sudah bagus, menurut Ayyi, yang perlu dilakukan oleh Triana dan Griya Schizofren selanjutnya ke depan adalah semakin mengembangkan edukasi keuangan tersebut pada tahap selanjutnya, yaitu dalam bentuk tabungan. Meski mungkin diawali dengan nominal yang sangat minim, kebiasaan menabung itu juga perlu secara perlahan ditanamkan setelah para ODMK tersebut telah memiliki kesadaran untuk menghasilkan uang lewat beragam aktivitas produktif.

        Tentu dengan mempertimbangkan faktor keamanan dan juga berbagai syarat adminsitrasi, bisa saja kendali atas tabungan itu tetap dalam pengawasan tim Griya Schizofren sebagai semacam penasehat.

        "Namun goals yang mau kita dapat intinya adalah budaya menabungnya. Budaya menyisihkan penghasilannya untuk kehidupan di masa depan yang lebih baik. Kalau perlu jika tabungan itu sudah terkumpul, ajarkan juga tentang pemahaman investasi. Belikan emas atau deposito. Tentu tetap ada penyesuaian-penyesuaian dalam hal penjelasannya di lapangan. Tapi ketika ada peluang ke arah sana, itu lebih baik," tegas Ayyi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Taufan Sukma
        Editor: Tanayastri Dini Isna

        Bagikan Artikel: