Sejak awal Maret mewabah di Indonesia, Covid-19 telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk layanan sosial keagamaan di bidang penyelenggaraan ibadah haji.
Kementerian Agama terpaksa mengambil keputusan untuk membatalkan penyelenggaraan ibadah haji 2020 demi melindungi keselamatan jiwa jemaah dan petugas haji dari Covid-19, dan karena pertimbangan tidak cukup waktu untuk menyiapkan teknis penyelenggaraannya.
"Karena faktanya sampai sekarang Kementerian Haji Arab Saudi belum juga ada kepastian terkait hal tersebut," Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi di Jakarta, Jumat (5/6/2020).
Baca Juga: Cap Pembatalan Haji Terburu-buru, PBNU: Kok Gak Makin Pinter
Terkait kebijakan pembatalan keberangkatan jemaah haji reguler dan khusus, maka Kementerian Agama menerbitkan Surat Keputusan Menteri Agama (KMA) RI Nomor 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji 1441 H/2020 M.
KMA tersebut merupakan payung hukum yang mengatur hal ihwal yang berhubungan dengan akibat hukum yang timbul dari pembatalan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020, antara lain, hak jemaah haji yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) tahun ini, akan menjadi jemaah haji tahun 1442 H/2021 M.
Sementara, kata dia, setoran pelunasan Bipih yang sudah dibayarkan oleh jemaah haji, ada dua pilihan. Pertama, setoran pelunasan Bipih yang dibayarkan akan disimpan dan dikelola secara terpisah oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Nilai manfaat dari setoran pelunasan itu akan diberikan oleh BPKH kepada jemaah haji yang bersangkutan paling lambat 30 hari sebelum pemberangkatan kloter pertama penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M.
"Kedua, setoran pelunasan Bipih dapat diminta kembali oleh jemaah haji," katanya.
Skema pengaturan Bipih tersebut, juga sudah disampaikan oleh Menteri Agama pada saat Rapat Kerja dengan Komisi 8 DPR RI pada 11 Mei 2020 secara virtual, dan Komisi VIII DPR RI dapat menerima usulan Kemenag tersebut, sehingga menjadi kesimpulan dalam rapat.
Diutarakan Zainut, tidak benar jika ada tuduhan pembatalan keberangkatan jemaah haji karena ada motif-motif lain, seperti akan menggunakan uang jemaah untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Happy Weekend! Rupiah Tembus Rp13.800-an, Pasar Modal Terselamatkan!
"Tuduhan uang haji akan digunakan oleh pemerintah untuk memperkuat rupiah adalah fitnah yang sangat keji, dan pendapat tersebut sama sekali tidak berdasar. Statemen seperti itu hanya mungkin keluar dari orang yang sudah terbiasa dengan pikiran kotor dan suka mencari sensasi," katanya.
Kendati begitu, ia sangat menghormati kritik sepanjang kritik tersebut dilandasi niat yang baik, obyektif, dan argumentatif. Bukan kritik yang subjektif, asumtif, dan hanya untuk mencari sensasi semata.
Kebebasan berpendapat termasuk menyampaikan kritik dalam sebuah negara demokrasi adalah hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi, tetapi hendaknya disampaikan dengan penuh tanggung jawab, bermartabat, dan berbudaya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: