Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Apa Itu Depresi Ekonomi?

        Apa Itu Depresi Ekonomi? Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Depresi ekonomi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang parah dan berkepanjangan. Dalam ilmu ekonomi, depresi ekonomi umumnya didefinisikan sebagai resesi ekstrim yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih atau yang menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) riil minimal 10% pada tahun tertentu. 

        Depresi relatif lebih jarang terjadi dibandingkan resesi yang lebih ringan, dan cenderung disertai dengan pengangguran yang tinggi dan inflasi yang rendah.terjadi jika kontraksi ekonomi terus berlanjut. Dampak depresi tentu lebih besar dari resesi. Depresi pernah tercatat dalam sejarah, terjadi pada 1929-1934, di mana great depression berlangsung hingga 5 tahun.

        Baca Juga: Apa Itu Depresi Besar?

        Dikutip dari Investopedia di Jakarta, Kamis (1/10/2020) pada saat depresi, kepercayaan konsumen dan investasi menurun, menyebabkan ekonomi bangkrut. Faktor ekonomi yang menjadi ciri depresi meliputi:

        • Peningkatan pengangguran yang substansial
        • Penurunan kredit yang tersedia
        • Menurunnya hasil dan produktivitas
        • Pertumbuhan PDB negatif yang konsisten
        • Kebangkrutan
        • Gagal bayar utang negara
        • Pengurangan perdagangan dan perdagangan global
        • Pasar beruang di saham
        • Volatilitas harga aset yang berkelanjutan dan nilai mata uang yang jatuh
        • Rendah atau tidak ada inflasi, atau bahkan deflasi
        • Peningkatan tingkat tabungan (di antara mereka yang bisa menabung)

        Para ekonom tidak setuju dengan durasi depresi. Beberapa percaya bahwa depresi hanya mencakup periode yang dilanda oleh penurunan aktivitas ekonomi. Ekonom lain berpendapat bahwa depresi berlanjut hingga sebagian besar aktivitas ekonomi telah kembali normal.

        Serangkaian faktor dapat menyebabkan ekonomi dan produksi mengalami kontraksi yang parah. Dalam kasus Depresi Hebat, kebijakan moneter yang dipertanyakan disalahkan.

        Setelah pasar saham jatuh pada tahun 1929, Federal Reserve (Fed) terus menaikkan suku bunga — mempertahankan standar emas menjadi prioritas daripada memompa uang ke dalam perekonomian untuk mendorong pengeluaran.

        Tindakan tersebut memicu deflasi besar-besaran. Harga turun 10% setiap tahun dan konsumen, mengingat harga barang dan jasa akan terus turun, menahan diri untuk tidak melakukan pembelian.

        Akhir 1910-an dan awal 1920-an ditandai oleh depresi ekonomi yang terurai dalam keadaan yang sangat dahsyat: Perang Besar dan akibatnya menyebabkan penumpukan komoditas global yang menghancurkan banyak negara berkembang, sementara prajurit yang kembali dari parit mendapati diri mereka sebagai pengangguran.

        Selain itu, pandemi flu Spanyol tahun 1918-2020 membuat kegiatan ekonomi terhenti karena semakin banyak orang menjadi tidak mampu. Sebagian besar negara maju pulih pada 1921–1922, namun ekonomi Jerman lumpuh hingga 1923–1924 karena krisis hiperinflasi.

        Krisis minyak tahun 1973, ditambah dengan meningkatnya biaya pemeliharaan negara di sebagian besar negara menyebabkan resesi antara tahun 1973 dan 1975, diikuti oleh periode pertumbuhan yang hampir minim dan meningkatnya inflasi dan pengangguran. Resesi 1980–1982 menandai akhir periode tersebut.

        Efek kemerosotan ekonomi tak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga perusahaan, bahkan ke negara. Di level individu, depresi bisa dilihat dari meningkatnya jumlah pengangguran.

        Di level perusahaan, depresi bisa dilihat dari banyaknya perusahaan yang bangkrut sehingga memecat para karyawannya. Kalau ditarik garis besar, kondisi depresi menyambung dari satu level ke level lainnya, hingga level negara.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajria Anindya Utami
        Editor: Fajria Anindya Utami

        Bagikan Artikel: