Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perusahaan Konglomerat Chairul Tanjung Si Anak Singkong: Nasibnya Berbanding 180 Derajat

        Perusahaan Konglomerat Chairul Tanjung Si Anak Singkong: Nasibnya Berbanding 180 Derajat Kredit Foto: CT Corp
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kepiawaian Chairul Tanjung dalam membangun kerajaan bisnis sudah tidak diragukan lagi. Tahun 1987 silam, Chairul Tanjung mendirikan PT Para Inti Holdindo (Para Group) yang kemudian berganti nama menjadi CT Corpora (CT Corp) pada tahun 2008. Penyematan CT dalam nama perusahaan diambil dari inisial nama sang pendiri yang tidak lain adalah Chairul Tanjung.

        Baca Juga: Nasib Perusahaan Milik Keluarga Jusuf Kalla: Syukur-Syukur Bisa Cetak Cuan!

        Berada di bawah naungan Chairul Tanjung, CT Corp bertumbuh menjadi sebuah konglomerasi bisnis raksasa di Tanah Air. Bahkan, berkat CT Corp pula, pria dengan julukan Si Anak Singkong itu pun menjadi orang termuda dalam daftar konglomerat Indonesia.  Baca Juga: 6 Perusahaan Grup Astra Milik Konglomerat William Soeryadjaya: Cuma Satu yang Kebal Pandemi

        CT Corp sendiri saat ini sudah merambah banyak sektor, mulai dari media dan hiburan, sumber daya alam, hingga perbankan. Dari sekian banyak gurita bisnis CT Corp, PT Bank Mega Tbk (MEGA) pun telah menjadi perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 17 April 2000.

        Selain Bank Mega, Chairul Tanjung (CT) juga tercatat sebagai pemilik atas saham maskapai PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Ia menguasai 25,80% atau lebih dari 6,68 miliar saham Garuda melalui PT Trans Airways.

        Sebagai perusahaan terbuka yang sama-sama dimiliki CT, apakah keduanya bergerak seirama dalam hal pencapaian kinerja keuangan? Selagi menunggu laporan keuangan kuartal III 2020 yang belum rilis, mari simak kembali bagaimana kinerja keuangan Bank Mega dan Garuda sepanjang semester I 2020 ini.

        1. Bank Mega 

        Pandemi Covid-19 seakan tak mempan bagi PT Bank Mega Tbk (MEGA) yang berhasil mencetak kinerja keuangan positif sepanjang semester I 2020. Bahkan, ketika industri perbankan ikut terdampak virus corona, keuntungan Bank Mega justru tumbuh subur hingga nyaris 80%

        Jika pada Juni 2019 lalu Bank Mega mengantongi laba bersih sebesar Rp891,39 miliar, angkanya terdongkrak 79,59% menjadi Rp1,8 triliun pada Juni 2020 ini. Pada saat yang bersamaan, pendapatan Bank Mega tercatat tumbuh satu digit.

        Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, Bank Mega mengantongi pendapatan bunga bersih senilai Rp1,98 triliun per Juni 2020. Capaian tersebut melonjak 9,39% dari Juni 2019 lalu yang hanya Rp1,81 triliun.

        Jika dibedah, penyumbang terbesar atas pendapatan bunga Bank Mega adalah dari kredit yang mencapai Rp3,06 triliun pada awal tahun ini. Kontributor berikutnya adalah pendapatan efek sebesar Rp905,62 miliar dan penempatan di BI dan bank lain sebesar Rp64,06 miliar.

        Pada saat bersamaan, laba operasional Bank Mega juga melonjak tinggi dari yang sebelumnya hanya Rp1,19 triliun menjadi Rp1,59 triliun. Kinerja keuangan Bank Mega menjadi begitu positif karena mampu mengikis beban operasional hingga puluhan miliar rupiah selama enam bulan pertama tahun ini. Jika pada Juni 2019 lalu beban operasional tercatat sebesar Rp1,78 triliun, angkanya jauh menurun menjadi Rp1,70 triliun pada Juni 2020 ini.

        2. Garuda Indonesia

        Berbanding terbalik dengan Bank Mega, kinerja PT Garuda Indonesia Tbk (Tbk) justru negatif pada semester I 2020. Bagaimana tidak, maskapai pelat merah itu tercatat merugi US$712 juta atau setara Rp10,34 triliun pada semester I 2020. Perlu diketahui, Garuda tercatat membukukan laba bersih sebesar US$24,11 juta pada semester I 2019 lalu. 

        Merujuk ke laporan perusahaan di keterbukaan informasi, penurunan kinerja emiten BUMN itu sudah terjadi bahkan sejak awal tahun 2020, di mana Garuda tercatat mengantongi rugi US$120,1 juta pada kuartal pertama tahun ini. Kondisi tersebut diperparah oleh anjloknya pendapatan Garuda di tengah berbagai kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia yang berimbas pada menurunnya jumlah penumpang.

        Sampai dengan Juni 2020, Garuda hanya mampu membukukan pendapatan sebesar US$917,28 juta atau setara Rp13,3 triliun. Angka tersebut menurun 58,18% dari pendapatan pada Juni 2019 lalu yang mencapai US$2,19 miliar.

        Kontributor terbesar atas pendapatan Garuda ialah diperoleh dari penerbangan berjadwal sebesar US$750,25 juta. Namun, capaian tersebut tercatat lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai US$21,5 juta. Kontributor pendapatan berikutnya adalah dari penerbangan tidak berjadwal sebesar US$21,5 juta, naik dari tahun sebelumnya yang hanya US$4,3 juta.

        Direktur Layanan, Pengembangan Usaha, dan Teknologi Informasi Garuda, Ade R. Susardi, mengungkapkan bahwa Mei 2020 merupakan periode di mana aktivitas penerbangan Garuda jatuh ke jurang terdalamnya. Kala itu, Garuda hanya mengoperasikan 30 penerbangan dalam sehari, hampir setengahnya merupakan penerbangan kargo. Kondisi tersebut dikatakan Ade mulai membaik pada Agustus hingga September 2020 ini.

        "Sekarang rata-rata 7.000 sampai 8.000 per hari. Kita harapkan semua menjadi lebih baik, jumlah penumpang lebih banyak, hal itu yang bisa menyelamatkan Garuda ke depan," pungkas Ade secara virtual pada 3 September 2020.

        Ia menambahkan, kinerja Garuda sangat terbantu oleh membaiknya aktivitas penerbangan domestik pada bulan-bulan terakhir ini. Walau diakui belum signifikan, setidaknya pasar domestik sudah mulai bangkit pada saat pasar internasional masih menghadapi banyak tantangan.

        "Masing untung, kita punya pasar domestik yang cukup kuat dan besar. Walaupun di internasional banyak kendala, di domestik kita sudah mulai bangkit kembali," sambungnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: