Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sri Mulyani Sebut Isu Struktural Jadi Penghambat Transformasi Ekonomi Nasional

        Sri Mulyani Sebut Isu Struktural Jadi Penghambat Transformasi Ekonomi Nasional Kredit Foto: Fajar Sulaiman
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, kinerja perekonomian selama ini masih terkendala oleh isu struktural yang berdampak pada menghambat proses transformasi ekonomi nasional. Hal itu diluar dari dampak pandemi Covid-19 di berbagai aspek ekonomi dan kesehatan.

        "Terlepas dari dampak pandemi Covid-19, kinerja perekonomian nasional selama ini masih menghadapi isu struktural yang menghambat proses transformasi ekonomi," ujar Sri Mulyani, Jakarta.

        Baca Juga: Gelombang Covid-19 Meningkat, Sri Mulyani Siapkan Jurus Apa untuk Ekonomi RI?

        Dalam pokok-pokok kebijakan fiskal 2021, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menguraikan, sejumlah perlambatan akibat wacana struktural yang sudah menjadi permasalahan sejak beberapa tahun lalu.

        Misalnya di sektor tradable seperti pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan dinilai masih bergerak lamban. Meski begitu, sektor nontradable tumbuh relatif tinggi dan masih mampu menopang laju pertumbuhan ekonomi nasional.

        Rendahnya pertumbuhan sektor tradable yang telah berlangsung cukup lama itu menyebabkan pertumbuhan potensial mengalami penurunan.

        "Berbagai analisis terkait output potensial menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan hanya sekitar 5 persen, menurun jika dibandingkan estimasi pertumbuhan ekonomi di awal 2010 yang ada di kisaran 6 persen," kata dia.

        Dari sisi struktur ekonomi, kinerja manufaktur dinilai harus menjadi perhatian utama karena peranannya terus menurun sejak awal tahun 2000-an. Di mana, pasca krisis ekonomi 1997-1998, berbagai faktor menahan kinerja manufaktur nasional, termasuk kondisi boom komoditas yang menggerus daya saing produk manufaktur.

        Apresiasi nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada masa boom menyebabkan ekspor produk hasil manufaktur mengalami penurunan daya saing. Dampaknya, diversifikasi ekspor dalam satu dekade terakhir relatif tidak terjadi dan hingga saat ini Indonesia masih mengandalkan sektor komoditas seperti batubara dan Crude Palm Oil (CPO) sebagai komoditas unggulan ekspor.

        Selain itu, proses diversifikasi dan pengembangan produk-produk manufaktur juga disebut masih relatif stagnan karena disinyalir oleh ketidakmampuan industri nasional untuk memanfaatkan Global Value Chain (GVC).

        Padahal, perkembangan globalisasi telah mengubah pola perdagangan global dalam kerangka GVC, di mana, proses produksi manufaktur menjadi lebih terfragmentasi dalam aktivitas dan komponen yang lebih kecil dan terspesialisasi.

        "Berbagai negara memanfaatkan momentum dan keuntungan perdagangan dari GVC termasuk Indonesia. Sayangnya, partisipasi Indonesia dalam GVC masih relatif rendah. Indeks partisipasi GVC terkini hanya sebesar 37,1 pada 2015), terdiri atas partisipasi backward 12,9 dan partisipasi forward 24,1. Jika dibandingkan dengan delapan negara peers di ASEAN, indeks partisipasi GVC Indonesia merupakan yang terendah," katanya.

        Karena itu, pemerintah akan terus mengambik langkah-langkah kebijakan untuk mendukung pemulihan dunia usaha, khususnya menjaga keberlangsungan usaha dan menahan laju peningkatan pengangguran.

        "Kebangkrutan massal dan peningkatan pengangguran merupakan hal harus dihindari agar perekonomian mampu pulih lebih cepat. Masyarakat harus tetap memiliki sumber pendapatan sehingga dapat menjaga stabilitas konsumsi yang pada gilirannya berdampak pada output perekonomian secara agregat," ungkap Sri Mulyani.

        Strategi utama yang akan dilakukan dalam jangka pendek adalah dengan mendorong pemulihan kembali sektor-sektor yang terkena dampak paling besar dan menyerap banyak tenaga kerja (labor intensive).

        Paralel dengan upaya pemulihan dampak pandemi Covid-19, langkah kebijakan reformasi struktural untuk mengakselerasi transformasi ekonomi juga dilakukan.

        Dukungan pemerintah terutama diarahkan pada dua dimensi, yakni dimensi enabling environment sebagai dukungan iklim usaha yang baik dan efisien, serta dimensi productivity improvement guna mendorong produktivitas dan daya saing untuk kualitas.

        Dari sisi fiskal, kebijakan yang dilakukan diantaranya melalui potongan pajak ataupun pajak ditanggung pemerintah untuk Pajak Penghasilan Badan maupun orang pribadi, penundaan pembayaran kredit, dan berbagai bantuan sosial yang dimaksudkan untuk menjaga agar sektor ekonomi tetap berjalan dan menjaga daya beli masyarakat.

        Di sisi lain, stance kebijakan moneter yang akomodatif juga dapat mendukung upaya pemulihan pelaku usaha di berbagai sektor. Bauran kebijakan dimaksud diyakini akan mengurangi potensi tambahan pengangguran, dan menjaga daya beli masyarakat sehingga pemulihan ekonomi berlangsung lebih cepat.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: