Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bakal Garap TPPAS Lulut Nambo, Investor Jerman Rogoh Kocek USD 133,3 Juta

        Bakal Garap TPPAS Lulut Nambo, Investor Jerman Rogoh Kocek USD 133,3 Juta Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menggandeng perusahaan asal Jerman EUWELLE Environmental Technology GmbH untuk mengembangkan TPPAS Lulut Nambo dengan investasi mencapai USD 133,3 juta. 

        Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Emil) mengatakan, investor TPPAS Lulut Nambo melalui proses lelang yang komprehensif dan adil. EUWELLE pun sudah memenuhi syarat yang dibuat. Mulai dari teknologi sampai kondisi finansial.  Baca Juga: Gubernur Ridwan Kamil Umumkan Kabar Gembira ini...

        “Dari sisi cost, sangat rasionable, sehingga beban tipping fee ke kabupaten/kota tidak terlalu besar. Oleh karena itu saya harapkan lancar,” katanya kepada wartawan di Bandung, Selasa sore (23/3/2021).

        “Yang bikin kita yakin dengan investor dari Jerman adalah mereka proyeknya sudah banyak, sehingga kita lebih reugreug (aman) ini bisa berjalan sesuai waktu,”tambahnya

        Provinsi Jawa Barat sendiri mengupayakan agar pengelolaan sampah harus dijadikan sesuatu yang bermanfaat, sehingga akan dikenal sebagai provinsi yang ramah lingkungan, semua kita selesaikan menjadi lebih terukur.

        Sampah yang masuk TPPAS Lulut Nambo rencananya akan diolah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF), biogas, kompos, dan produk energi dari sampah lainnya. 

        TPPAS Lulut Nambo memiliki luas sekitar 55 hektare. 15 hektare di antaranya akan digunakan sebagai tempat pemrosesan dan pengolahan sampah. Sisanya akan dibangun jalan, tempat pengolahan air, dan perkantoran. TPPAS Lulut Nambo akan mengelola sampah di wilayah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Tangerang Selatan. 

        “Karena pengelolaan sampah di Jabar itu sudah diputuskan  harus regional tidak boleh satu-satu, maka wilayah Bogor, Bogor, Depok dan Tangsel itu oleh Lulut Nambo,” ujarnya.

        Sedangkan untuk wilayah Bandung Raya akan dikelola TPPAS Legok Nangka, dan untuk daerah lain sedang disiapkan, seperti Ciayumajakuning satu lokasi, Bekasi-Bekasi-Karawang-Purwakarta satu lokasi. 

        “Jadi minimal kita butuh tiga sampai empat proyek skala besar sehingga Jabar dikenal provinsi yang ramah lingkungan,” katanya.

        Adapun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, Prima Mayaningtyas mengatakan, tipping fee bagi daerah yang memanfaatkan TPPAS Lulut Nambo sebesar Rp125 ribu per ton. 

        Pembangunan TPPAS Lulut Nambo ini dilakukan sejak 2017 dengan mekanisme kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Saat itu lelangnya dimenangkan konsorsium Panghegar Energy Indonesia yang membentuk perusahaan khusus (special purpose company) bersama PT Jasa Sarana, yaitu PT Jabar Bersih Lestari (JBL).

        "Tipping fee Rp125 ribu per ton. Tidak ada subsidi dari Pemda Provinsi Jabar sebagaimana perjanjian kerja sama yang telah dilakukan di tahun 2017," katanya.

        Namun, dalam perjalanannya PT JBL gagal memenuhi target operasional (commercial operation date) pada Juni 2020 akibat terkendala biaya. 

        "Tapi kami terus berkomitmen untuk membantu permasalahan pengelolaan sampah di Wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok serta Kota Tangerang Selatan. Makanya terus membangun TPPAS Regional Lulut Nambo," ungkapnya.

        Dia menyebutkan dengan dilanjutkannya pembangunan tersebut, menurutnya kini PT JBL melanjutkan pembangunan TPPAS Regional Lulut Nambo dengan mengubah struktur kepemilikan sehingga PT Jasa Sarana menjadi pemegang saham pengendali (mayoritas). Setelah menjadi pemegang saham mayoritas, BUMD tersebut mencari mitra strategis untuk berkerjasama dalam melanjutkan pembangunan dan pengelolaan proyek strategis itu.

        Menurutnya, pemilihan investor berdasarkan sejumlah penilaian, salah satunya terkait teknologi yang digunakan. Perusahaan Jerman itu dianggap sudah menerapkan Maximum Yield Technology (MYT) di beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand.

        Teknologi MYT ini dianggap tepat karena sesuai dengan rencana pengolahan sampah menjadi RDF (refuse derived fuel) yakni bahan bakar alternatif pengganti batu bara yang sesuai dengan kontrak jual beli yang telah dilakukan bersama PT. Indocement. 

        "Jadi perusahaan Jerman ini sudah berpengalaman. Selain itu pemilihan mitra ini juga melalui proses bisnis (corporate action) yang transparan dan melibatkan seluruh stakeholder di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta melibatkan tenaga ahli teknis maupun manajemen," ungkapnya.

        Disinggung pembiayaan pembangunan TPPAS Lulut Nambo, menurutnya bersumber dari sejumlah mitra pendanaan seperti PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan bank bjb. Adapun sumber pendapatan (revenue) antara lain berasal tipping fee yang akan dibayarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, hasil penjualan RDF, hasil pengolahan lainnya. Sedangkan, untuk besaran tipping fee yang akan dibebankan ke kabupaten/kota sebesar Rp125 ribu per ton. 

        "Kontruksi TPPAS Regional Lulut Nambo akan dilanjutkan kembali pada pertengahan tahun 2021 dan diharapkan akan beroperasi secara optimal pada akhir tahun 2021," imbuhnya.

        Sementara itu, Vice President EUWELLE Yao Li menyatakan, pihaknya berkomitmen menjadikan TPPAS Lulut Nambo sebagai tolak ukur pengolahan sampah menjadi energi yang berkualitas. 

        "Kami bangga mendapatkan persetujuan ini. teknologi ini (yang akan digunakan) sudah didemonstrasikan di Jerman, Perancis, Cina dan Thailand," katanya.

        "Euwelle berkomitmen menjadikan TPPAS ini sebagai benchmark project yang berkualitas, terima kasih atas kepercayaannya," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: