Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tak Pandang Bulu, Pakar Minta Aparat Hukum Pedomani Jokowi Soal Pemeriksaan BPK

        Tak Pandang Bulu, Pakar Minta Aparat Hukum Pedomani Jokowi Soal Pemeriksaan BPK Kredit Foto: Panpel Webinar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Dr. Sonyendah Retnaningsih mengapresiasi dan mendukung penuh atensi Presiden Joko Widodo terhadap peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di masa pandemi.

        Sebagaimana dinyatakan Kepala Negara dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR RI, di Gedung MPR, Senayan, Senin (16/8), Presiden mengenai peran pemeriksaan BPK mengatakan. Baca Juga: Kematian Akibat Covid-19 Bikin Ngeri, Jokowi: Jangan Cuma Duduk-Duduk di Kantor!

        ”Situasi pandemi bukan situasi normal, dan tidak bisa diperiksa dengan standar situasi normal. Yang utama adalah menyelamatkan rakyat sebagai hukum tertinggi dalam bernegara,” kata Presiden dalam Sidang MPR tersebut. 

        Untuk itu, kata Presiden, "…peran pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK juga perlu dilakukan beberapa penyesuaian." Sonyendah mengingatkan agar Aparat Penegak Hukum  pun ikut pedomani arahan Presiden Jokowi ini. 

        Menurut Sonyendah, pernyataan Presiden tersebut menunjukkan Kepala Negara sangat memahami ketidaknormalan situasi di tengah pandemi Covid-19. Sebagai pemimpin tertinggi jajaran eksekutif, Presiden paham benar BPK sebagai lembaga tinggi negara sangat berperan penting dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Baca Juga: KNPI: Pak Jokowi, Tunjuk Jenderal Andika Perkasa Jadi Panglima TNI!

        Karena itu, Sonyendah setuju dan mendukung Presiden dalam kondisi seperti ini audit BPK pun tidak bisa dilakukan sebagaimana kondisi pada saat situasi berjalan normal. 

        Sebab apabila BPK melakukan tugasnya tersebut yang seakan-akan kondisi negara normal-normal saja, yang terjadi adalah hal-hal yang dapat dikualifikasi akan berlawanan dengan kondisi aktual yang terjadi. 

        “Situasi pandemi adalah kondisi kedaruratan yang membutuhkan kecepatan dan terobosan,” ujar dia.

        “Implikasinya bisa saja merembet kepada adanya aturan-aturan normal yang diterobos atau disesuaikan. Sebaiknya, BPK dan aparat penegak hukum yang menindaklanjuti temuan BPK tidak melihat hal tersebut sebagai suatu pengecualian yang dalam hukum biasanya dikualifikasi sebagai alasan pembenar, karena landasan dan payung hukum dalam situasi yang terjadi saat ini adalah nya adalah UU No 2 Tahun 2021,” tambahnya.

        “Maka Aparat Penegak Hukum yang selama ini menindaklanjuti temuan temuan BPK pun harus mengikuti arahan Presiden Jokowi tersebut," kata Sonyendah.

        Dia juga mengingatkan pentingnya pernyataan Presiden dalam Sidang Tahunan MPR Senin (16/8) lalu, yang menekankan saat ini yang paling utama adalah bagaimana memastikan dan menjamin keselamatan rakyat Indonesia sebagaimana amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu amanahnya adalah Negara wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang dapat dimaknai sebagai kewajiban melindungi rakyatnya.

        “Keselamatan rakyat harus menjadi perhatian bagi diingat para aparat penegak hukum, yakni sebagaimana dinyatakan Presiden Jokowi bahwa tujuan yang paling utama bagi negara saat ini adalah menyelamatkan rakyat, dan itu menjadi hukum tertinggi dalam bernegara," tutur dia, mengulangi pernyataan Presiden. 

        Hal lain yang penting untuk diperhatikan menurut Sonyendah, bahwa penyalahgunaan kewenangan (discretionary power) dalam ranah tindak pidana korupsi tidak bisa serta merta dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. 

        Hal ini dapat dasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) yang dinyatakan bahwa “biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis, dan bukan merupakan kerugian negara.”

        “Artinya, itu jelas merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dalam situasi krisis, negara sama sekali tidak dirugikan, dan oleh karenanya hal tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai adanya kerugian Negara,” jelas dia. 

        Menurut Sonyendah, dalam konteks kondisi Pandemi Covid-19, Undang-Undang tersebut juga memberikan perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik, yang tergabung membantu pemerintah dalam mengatasi masalah pandemi Covid-19, khususnya dengan pengadaan barang dan jasa yang dbutuhkan untuk mengatasi dampak pandemi ini. 

        “Oleh karenanya, pelaksanaan kebijakan pemerintahan saat ini sejalan dengan doktrin Freis Ermessen yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasaran (doelmatigheid) daripada tercapainya kesesuaian yang sangat rigid dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid),” kata Sonyendah.

        Untuk itulah, maka para pelaksana kegiatan tersebut diberikan perlindungan secara hukum, termasuk juga pihak ketiga yang menyediakan barang dan jasanya," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: