Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kisah Founder Kitabisa Alfatih Timur: Anak Rantau yang Sukses Bangun Startup Berbasis Sosial

        Kisah Founder Kitabisa Alfatih Timur: Anak Rantau yang Sukses Bangun Startup Berbasis Sosial Kredit Foto: Nico Martiano Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Founder Kitabisa.com, Alfatih Timur merupakan pria kelahiran Bukittinggi, 27 Desember 1991. Orang tuanya adalah seorang dokter PNS yang harus pindah-pindah dinas sehingga sejak kecil, Alfatih terbiasa pindah-pindah sekolah.

        Usai lulus dari SMAN 1 Padang, Alfatih pun melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia, jurusan ekonomi. Awalnya, ia ingin mengikuti jejak orang tua sebagai dokter, namun sayangnya ia buta warna.

        Sejak SMA, Alfatih mengaku sudah tertarik dengan ekonomi. Ia pernah jualan pulsa, buku-buku TOEFL, bahkan pernah ikut Multi Level Marketing (MLM). Saat ia mengikuti MLM itulah ia merasakan perubahan hidup.

        Baca Juga: William Tanuwijaya Tegaskan Tokopedia Berbeda dengan Amazon, Ternyata Ini Pembedanya!

        Terutama, saat pihak MLM memberinya dua buku yakni buku "The Magic of Thinking Big" karya David J. Schwartz, dan yang kedua adalah "How to Win Friends And Influence People" karya Dale Carnegie.

        Alfatih berujar kedua buku itu bisa dibilang sebagai buku wajib seorang sales. Karena, kekuatan buku itu adalah menjadikan pembacanya memiliki kepercayaan diri, dan mudah bebricara dengan orang lain. Sejak itu juga Alfatih merasa mudah berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi.

        Saat merantau ke UI, Alfatih tinggal di kos-kosan yang penghuninya berasal dari berbagai latar belakang. Meski awalnya kaget, Alfatih mengaku jadi pengalaman tersendiri dalam berbaur dengan orang lain dan mampu memahami perbedaan perspektif.

        Alfatih bercerita, saat SMA ia tidak mengikuti organisasi. Ia hanya diperbolehkan mengikuti organisasi Rohis (Rohani Islam) karena akselerasu. Saat kuliah, Alfatih mengikuti banyak kepanitiaan dan organisasi untuk bisa lebih mengenal orang lain.

        Organisasi yang paling mengubah hidup Alfatih adalah saat ia bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Karena, melalui BEM, Alfatih jadi belajar tentang idealisme. Menurutnya, saat menjadi mahasiswa adalah momen ia diperbolehkan untuk naif dan idealis. Ia sangat menikmati masa-masa itu selama tiga tahun bergelut di BEM di divisi sosial-politik.

        Saat itu, Alfatih diajarkan oleh senior-seniornya bahwa pemimpin bergerak karena rakyat bersuara.

        "Jadi, tugas kita adalah menciptakan suara-suara supaya pemimpin mau bergerak," ujar Alfatih.

        Selain kegiatan politik, ada juga kegiatan sosial yang dilakukan Alfatih. Ini karena kalimat dari Muhammad Yunus, pemenang hadiah Nobel yang mengatakan seorang akademis atau intelektual itu jangan hanya bermata elang, tetapi juga harus bermata cacing. Artinya adalah seorang akademis harus bisa terjun dan turun ke bawah untuk merasakan.

        Kegiatan social entrepreneurship yang saat ini dijalankan oleh Alfatih ternyata mulai bergeliat usai lulus kuliah dengan bergabung bersama Prof. Rhenald Kasali sebagai asisten pribadi selama dua tahun. Selama itu, Alfatih melakukan banyak riset untuk mempersiapkan buku atau seminar yang hendak dilakukan oleh Prof. Rhenald.

        Saat itu bertepatan dengan persiapan Prof. Rhenald membuat buku tentang social entrepreneurship. Alfatih mengaku sempat riset dan membandingkan social enterprise di luar negeri dan di Indonesia.

        Dalam kanal YouTube Gita Wirjawan di video berjudul "Alfatih Timur: Saling Menjaga Dengan Teknologi | Endgame S2E21", Alfatih mengauk bertemu dengan sosok-sosok yang menginspirasi di Indonesia. Dari sanalah Alfatih terbuka bahwa ternyata ada banyak figur lokal yang membangun proyek sosial yang memberikan inspirasi kepada Alfatih.

        Dua tahun setelah Alfatih lulus kuliah dan membantu profesor, ia pun akhirnya mendirikan Kitabisa.com. Saat itu, Alfatih masih asing dengan kata 'startup'. Baginya, Kitabisa adalah sebua gerakan yang dikerjakan selama akhir pekan yang dibantu dengan banyak relawan. Idenya saat itu pun sederhana; yakni orang-orang yang ingin melakukan kegiatan sosial tetapi tidak memiliki donasi dan sulit untuk mendapatkan sumber daya.

        Di saat yang bersamaan, Alfatih sadar betul ada banyak orang yang ingin membantu tetapi tidak tahu cara penyalurannya yang efektif dan terpercaya. Dari situlah Alfatih membuat platform untuk menghubungkan orang-orang baik.

        Dalam dua tahun pertama, Alfatih berujar Kitabisa hampir tidak ada pertumbuhan alias stagnan. Karena saat itu Alfatih tidak tahu bagaimana cara membangun platform. Terlebih, ia bukanlah seorang yang memiliki latar belakang IT.

        Saat-saat itu dijalani Alfatih dengan menikmati momen. Ia pun kerap berbicara dengan teman-temannya komunitas serta aktivis. Kitabisa di tahun-tahun awal lebih banyak digerakkan oleh mahasiswa. Saat itu Kitabisa hanya platform antar teman.

        Pada tahun 2013, Kitabisa sempat viral saat sekolah anak jalanan di Depok, Masjid Terminal hendak digusur. Lalu tiba-tiba turun lagi. Jadi, Alfatih menyimpulkan bahwa peristiwa mendorong pertumbuhan Kitabisa.

        Saat mendirikan Kitabisa, Alfatih mengaku masih bekerja dengan Profesor sehingga ia masih cukup kuat untuk bertahan dengan gaji dari bekerja dengan Profesor. Hingga suatu hari, tibalah momen Alfatih memutuskan keluar untuk fokus pada Kitabisa secara penuh waktu, meski itu termasuk ke dalam masa-masa sulit Alfatih.

        "Tapi waktu itu saya merasa suka saja setiap ketemu sama orang-orang yang punya proyek-proyek keren, apalagi proyek sosial, mengalir energinya." ujar Alfatih. "Karena tugas kami adalah memfasilitasi para pembuat perubahan. Pahlawannya itu bukan Kitabisa, tapi pahlawannya si pembuat kampanye ini," lanjutnya.

        Karena itulah, Alfatih mengaku bersyukur bisa menjadi jembatan bagi mereka yang ingin menyalurkan. Hingga hari ini, Alfatih berujar donasi tertinggi dilakukan orang-orang setiap hari Jum'at pukul 4.30-6.00 pagi. Yakni sedekah Subuh pada hari Jum'at. Meski hanya Rp2.000, banyak orang yang berujar merasa ada yang kurang jika tidak memulai hari dengan sedekah.

        "Di balik retensi donor, kita punya sifat itu sebenarnya yakni orang untuk terus berdonasi, tinggal bagaimana kita jaga kepercayaan dan transparansinya," ujar Alfatih.

        Lebih lanjut, Alfatih tertarik dengan Universal Basic Income (UBI) yakni ketika seseorang bersedia mendistribusikan kekayaannya untuk rakyat yang tidak bekerja karena berbagai sektor sudah dikelilingi oleh robotik dan kecerdasaran buatan. Alfatih berharap, jika suatu saat itu terjadi, ibu-ibu rumah tangga, penjaga hutan, bisa mendapatkan 'bayarannya' serta tak harus bekerja pada sektor yang disahkan oleh pemerintah. Dengan demikian, redistribusi kesejahteraan dan kekayaan pun akan lebih adil dan setara.

        Lebih lanjut, Alfatih bercerita bahwa di Kitabisa saat ini, pertumbuhan donasi rumah sakit menjadi No. 1 di platformnya, barulah yang kedua seputar reliji, lalu yang ketiga kemanusiaan atau bencana alam, barulah ke pendidikan, lingkungan, bahkan hewan.

        Alfatih sendiri terkagum-kagum bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang masjidnya dibangun oleh rakyat. Melalui pendanaan Kitabisa, masjid-masjid juga tak hanya dapat berdiri tegak, tetapi juga bisa memberdayakan sekitarnya, membantu fakir miskin dan dhu'afa, serta lainnya.

        "Masjid berfungsi tidak hanya untuk ibadah tetapi juga untuk memberdayakan masyarakat di sekitarnya," tandas Alfatih.

        Karena itu, Alfatih kerap mengingatkan pengguna dan komunitas untuk menjaga penyalahgunaan dana dan kampanye. Sistem 'Report' Kitabisa diklaim sangat canggih sehingga bisa menahan kampanye, mengembalikan donasi, atau bahkan mengalihkan donasi ke hal lain.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajria Anindya Utami
        Editor: Fajria Anindya Utami

        Bagikan Artikel: