Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        CIPS: UU Cipta Kerja Sebabkan Obesitas Regulasi dan Menghambat Investasi

        CIPS: UU Cipta Kerja Sebabkan Obesitas Regulasi dan Menghambat Investasi Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Selain cacat secara prosedural seperti telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Undang-Undang (UU) Cipta Kerja sebenarnya juga tidak mengatasi kompleksitas dan obesitas regulasi di Indonesia, yang menjadi salah satu penyebab terhambatnya investasi, kata Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rabu (02/12).

        Melalui sebuah siaran pers Penelitian CIPS menunjukkan bahwa, walaupun bagian penjelasan UU Cipta Kerja menyatakan bahwa obesitas regulasi adalah masalah utama yang menghambat investasi ke Indonesia, UU ini nyatanya bukanlah instrumen yang tepat untuk mengatasi obesitas ini karena sifatnya yang lebih condong kepada reformasi simptomatik, bukan sistemik.

        Baca Juga: Peneliti CIPS: Pengembangan Riset dan Inovasi Teknologi Butuh Peran Swasta

        “Simptomatik karena hanya melakukan perubahan terhadap peraturan-peraturan yang dianggap menyulitkan bisnis tanpa benar-benar mencoba mengurangi jumlahnya. Sedangkan yang kita perlukan adalah reformasi sistemik, di mana perlu ditanamkan disiplin pembuatan peraturan yang fokusnya bukan hanya membuat peraturan baru. Tetapi merevisi/menghapuskan peraturan lama yang sudah tidak relevan lagi,” terang Associate Researcher CIPS Andree Surianta.

        Ia menambahkan, UU Cipta kerja ini bahkan malah menambah kompleksitas dan obesitas regulasi, terutama di tingkat pemerintah pusat. Peraturan Pemerintah Pusat bertambah 296 dibandingkan jumlah yang disebutkan oleh UU Cipta Kerja. Pemerintah Daerah malah sepertinya lebih disiplin dengan hanya menambahkan 17 peraturan.

        “Terlalu kompleks dan gemuknya regulasi, yang juga sering tumpang tindih dan saling bertentangan, sudah sering disebutkan sebagai salah satu faktor penghambat investasi di Indonesia,” ujarnya.

        Andree juga mengatakan pertentangan antara peraturan di tingkat pusat, provinsi dan daerah, seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum yang membuat investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Melihat hal ini Andree menyarankan pemerintah agar lebih fokus pada kebijakan jangka panjang dalam menstabilkan kembali kondisi perekonomian yang terkontraksi oleh pandemi Covid-19.

        “Pemerintah juga perlu mengeksplorasi sektor-sektor yang mampu menarik investasi yang tidak hanya padat modal melainkan juga padat karya, hingga dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat yang saat ini terdampak Covid-19,” timpalnya.

        Walau menyambut baik reformasi lewat penerbitan UU Cipta Kerja dan Perpres 10/2021 tentang bidang usaha penanaman modal, Andree mengatakan dunia usaha masih diliputi keraguan mengenai dampaknya terhadap obesitas dan tumpang tindih regulasi di tingkat kementerian dan pemerintah daerah, dimana lebih dari 70 persen peraturan berada, dan sering menjadi sumber terhambatnya perizinan investasi.

        Keputusan MK ini menurut Andree tentu merupakan pukulan bagi pemerintah karena tidak memungkinkan adanya penerbitan peraturan turunan baru selama dua tahun. Keadaan ini bisa membuat investor mengambil sikap wait-and-see. Keraguan investor diperparah lagi oleh risiko bahwa UU Cipta Kerja dan 50+ aturan turunannya bisa batal setelah dua tahun.

        “Pemerintah juga dilarang membuat peraturan turunan baru yang mungkin masih ditunggu-tunggu investor, terutama mengenai spesifikasi pemberian insentif untuk menggenjot investasi. Penundaan dua tahun seperti ini akan semakin membuat kita tertinggal dalam persaingan menarik investasi global dan bisa berdampak terhadap upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi,” tandas Andree.

        Ia menambahkan, misalnya saja untuk sistem perizinan usaha berbasis risiko yang diterapkan dalam sistem Online Single Submission (OSS) baru. Menurutnya investor bisa merasa ragu, jika mendapatkan izin sekarang dan ternyata UU Cipta Kerja dibatalkan di 2024 mendatang, apakah izinnya masih sah atau perlu dirubah lagi? Hal ini merupakan risiko yang sangat besar untuk para investor. 

        Ia menyebut, pemerintah seharusnya juga mengambil pelajaran dari teguran MK mengenai lemahnya disiplin pembuatan peraturan. MK sudah menyatakan perlunya merevisi UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk mempertahankan UU Cipta Kerja.

        “Akan lebih baik lagi jika UU 12/2011 disesuaikan untuk menyelesaikan akar permasalahan kompleksitas dan obesitas regulasi itu sendiri. Misalnya saja, pemerintah dapat menambahkan kewajiban review relevansi peraturan setiap beberapa tahun sekali dengan tujuan menghapuskan atau merubah peraturan yang sudah using,” imbuhnya.

        “Jadi, UU 12/2011 jangan cuma direvisi demi menjaga keabsahan UU Cipta Kerja. Tetapi revisi ini memang perlu dilakukan dengan tujuan benar-benar untuk merampingkan kerangka regulasi. Iklim regulasi yang lebih ringkas akan lebih bermanfaat untuk menarik investasi di jangka panjang, ketimbang mengadopsi model omnibus yang ternyata malah semakin menambah jumlah peraturan dan artinya semakin memperparah obesitas regulasi,” tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nuzulia Nur Rahma
        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: