Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Amerika Sunat Durasi Isolasi Pasien Covid-19 Tak Bergejala, Ilmuwan Khawatir...

        Amerika Sunat Durasi Isolasi Pasien Covid-19 Tak Bergejala, Ilmuwan Khawatir... Kredit Foto: Reuters/Nick Oxford
        Warta Ekonomi, Washington -

        Amerika Serikat (AS) menyunat waktu isolasi untuk pasien COVID-19 tanpa gejala menjadi lima hari dan tanpa memerlukan tes negatif. Para ilmuwan khawatir, nantinya kepentingan bisnis diletakkan di atas kesehatan.

        Keputusan badan kesehatan nasional Amerika Serikat untuk memangkas waktu isolasi bagi orang-orang yang terinfeksi COVID-19 tanpa gejala, telah memicu kekhawatiran di antara para ilmuwan.

        Baca Juga: Ahli Penyakit Menular Amerika Desak Biden Wajibkan Vaksin Penerbangan Domestik karena...

        Mereka mengatakan, keputusan itu berpotensi meningkatkan penyebaran virus corona dan membebani rumah sakit.

        Pada hari Senin (27/12/2021), Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) mengatakan orang dengan COVID-19 tanpa gejala, hanya perlu diisolasi selama lima hari dan tidak memerlukan tes PCR negatif atau tes antigen cepat.

        Setelah isolasi, mereka diwajibkan memakai masker selama lima hari di sekitar orang lain. Aturan yang sama akan berlaku untuk orang-orang yang mempunyai gejala dan sembuh setelah lima hari dalam isolasi.

        Keputusan itu muncul di tengah kekhawatiran kurangnya sumber daya manusia di sektor kesehatan dan pariwisata.

        AS juga dilaporkan menghadapi kekurangan tes antigen cepat dalam beberapa pekan terakhir.

        CDC mengatakan rekomendasi tersebut didorong oleh data ilmiah yang menunjukkan, sebagian besar penularan virus SARS-CoV-2 biasanya terjadi satu hingga dua hari sebelum timbulnya gejala dan dua hingga tiga hari setelahnya.

        Ilmuwan ingin melihat data Data yang digunakan CDC untuk membuat rekomendasi tersebut sejauh ini belum tersedia untuk umum.

        Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Internal Medicine pada bulan Agustus menemukan, potensi penularan tertinggi adalah ketika dua hari sebelum dan tiga hari setelah timbulnya gejala.

        Tetapi virus masih dapat ditularkan setelah tiga hari. "Periode karantina awal ditetapkan berdasarkan apa yang kami temukan secara ilmiah tentang berapa lama kami mendeteksi virus hidup - dengan kata lain, bahwa orang tersebut mungkin dapat menginfeksi orang lain", kata Emma Hodcroft, ahli epidemiologi molekuler di Universitas Bern di Swiss kepada DW.

        Zoe Hyde, seorang ahli epidemiologi di University of Western Australia, mengatakan kepada DW, mempersingkat periode isolasi masuk akal dan dapat diterima dengan alasan virus paling berisiko menular dalam beberapa hari pertama, tetapi ini bisa dilakukan hanya jika ada tes negatif.

        "Saya pikir itu ide yang sangat buruk untuk menghilangkan kebutuhan untuk tes negatif, karena itu akan menyebabkan banyak orang menyebarkan virus di masyarakat," jelas Hyde.

        "Itu juga mengirimkan pesan yang salah tentang seberapa parah virus itu. Ini mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi orang tanpa gejala yang diizinkan meninggalkan karantina, tetapi itu bisa menghancurkan orang-orang yang rentan di komunitas yang kontak dengan mereka," tambahnya.

        Ekonomi di atas kesehatan?

        Para ilmuwan khawatir, keputusan untuk mengurangi separuh waktu isolasi untuk pasien tanpa gejala bukan didorong oleh argumentasi kesehatan masyarakat.

        "Ini jelas bukan pedoman kesehatan masyarakat - ini lebih ke arah (perlu) untuk memastikan bahwa kita dapat menjaga segala sesuatunya berjalan cukup banyak, jadi ini lebih merupakan pedoman ekonomi," kata Tobias Kurth, seorang profesor kesehatan masyarakat dan epidemiologi di Rumah Sakit Charitas Berlin.

        "Di beberapa daerah, mungkin perlu untuk sedikit melonggarkan aturan, tetapi bukan sebagai rekomendasi umum," kata Kurth.

        Hyde juga mengemukakan pendapat senada Kurth. "Saya khawatir bahwa politiklah yang mendorong keputusan ini, bukan sains."

        Sementara Hodcroft mengatakan solusi nyata untuk kekurangan staf di tempat kerja adalah dengan menurunkan jumlah kasus.

        "Dengan mengizinkan mereka yang masih bisa menularkan (virus) kembali ke lingkungan kerja, Anda dapat mengaktifkan penularan, membiarkan lebih banyak orang terinfeksi, dan berpotensi melanggengkan masalah," tegasnya.

        Tekanan berat pada rumah sakit Kekhawatiran lain adalah bagaimana rumah sakit akan mengurus pasien, jika tingkat infeksi meningkat lebih tinggi, sebagai akibat dari orang tanpa gejala yang tidak diisolasi cukup lama dan tes negatif tidak diperlukan.

        Kurth memperingatkan, di negara-negara yang menghadapi gelombang yang dipicu oleh varian Omicron - seperti Inggris, Prancis, AS, dan Jerman - sejumlah besar kasus akan menyebabkan sistem perawatan kesehatan ambruk.

        "Ini sepertinya saat yang buruk untuk melonggarkan pembatasan di saat varian Omicron menyebar begitu cepat, saya tidak bisa melihat bagaimana sistem rumah sakit akan mengatasi ini," kata Hyde.

        Keputusan CDC muncul, ketika negara-negara lain mulai membahas perubahan aturan isolasi untuk orang-orang dengan tingkat vaksinasi yang berbeda.

        Jerman saat ini sedang mempertimbangkan perubahan aturan isolasi untuk orang yang pernah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi, jika mereka tidak memiliki gejala. Namun, tidak seperti dalam rekomendasi AS untuk kasus tanpa gejala, tes COVID-19 negatif masih diperlukan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: