Minyak goreng langka di negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Ironis memang, tapi inilah kenyataan. Indonesia saat ini adalah salah satu dari lima negara penghasil minyak sawit terbesar di planet bumi.
Tetapi, belakangan, warga Indonesia justru kelimpungan mencari minyak goreng. Kebijakan HET (Harga Eceran Tertinggi) nyatanya tidak membuat pemerintah bisa mengendalikan kelangkaan minyak goreng karena imbas perang Rusia, kenaikan CPO dan andil dari mafia.
Luas Lahan Kelapa Sawit di Indonesia
Mengutip dari data Kementerian Pertanian tahun 2019, total luas kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare yang tersebar di 26 provinsi.
Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut, produksi minyak sawit mentah tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton. Jumlah ini turun tipis dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 47,03 juta ton.
Baca Juga: Masalah Minyak Goreng Sudah "Antarkan" Warga Masuk Liang Kubur, Mendag Lutfi Ngaku Bahwa Ada...
Namun, jumlah itu tentu masih memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang menurut data Index Mundi mencapai 15,4 juta ton pada 2021. Data ini juga menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan konsumsi minyak goreng terbesar di dunia.
Berdasarkan data sejak tahun 2006, Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2019, produksi sawit di Indonesia mencapai 43,5 juta ton, dengan pertumbuhan rata-rata produksi per tahunnya mencapai 3,61 persen.
Beberapa saat lalu, Sekretaris Ditjen Perdagangan Kemendag I G Ketut Astawa mengklaim, kebutuhan minyak goreng dalam negeri terpenuhi karena produksi yang lebih tinggi dibandingkan kebutuhan. Selain itu, ia juga menegaskan adanya komitmen dari produsen CPO yang mencapai 351 juta liter selama 14 hari.
Sayangnya, seribu kata dari pejabat tak ada yang bisa dipegang. Saat harga minyak goreng 'terdiskon' karena kebijakan HET Rp14 ribu, minyak goreng mendadak langka. Namun kini, ketika harganya naik lebih dari 50 persen, minyak goreng begitu mudah ditemukan di toko-toko langganan masyarakat.
Respon Menteri Perdagangan
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi kini 'hanya' bisa mengucapkan maaf karena tidak bisa mengendalikan harga minyak goreng.
Di hadapan Komisi VI DPR RI, Mendag Lutfi memperlihatkan grafik harga CPO dan minyak goreng yang menunjukkan kenaikan. Hal ini jadi alasan dia, selain perang Rusia dan Ukraina yang juga jadi alasan lainnya.
"Kesalahan utama saya, tidak bisa memprediksi akan terjadi invasi Rusia terhadap Ukraina. Ini saya sebut tadi deduksinya adalah, mengundang orang berbuat serakah dan jahat diorganisir mafia migor dan komoditas," kata Lutfi dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Kamis, (17/3/2022).
Berita bertebaran di televisi dan media sosial, memperlihatkan antrean warga yang ingin mendapatkan minyak goreng selama hampir dua bulan.
Baca Juga: Megawati Sampai Ngelus Dada Liat Emak-emak Ngantre Minyak Goreng: Emang Nggak Bisa Direbus?
Namun, bukannya memperlihatkan ketegasannya, pemerintah justru menyerah dengan membatalkan pembatasan harga maksimal Rp14.000 dan kini tidak lagi memaksa eksportir minyak mentah atau CPO untuk mengutamakan kebutuhan domestik (DMO) sebesar 30 persen dari ekspor. Tak lama setelah kebijakan ini dirilis, minyak goreng mudah ditemukan dengan harga mahal.
Instruksi Presiden Jokowi yang meminta Mendag Muhammad Lutfi segera mengatasi kenaikan harga minyak goreng berakhir mentah.
Pemberlakuan minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter disertai mekanisme subsidi BPDPKS untuk mengganti kemahalan harga bagi yang memiliki stok minyak goreng tak mampu mengatasi krisis komoditas tersebut.
Konflik Rusia dan Ukraina, ditambah harga CPO yang melambung dan dugaan mafia kartel minyak goreng memang memperburuk kondisi pasar minyak goreng dalam negeri.
Keputusan Mendag menaikkan DMO CPO dan turunannya menjadi 30% dan menyatakan HET minyak goreng tak akan dicabut berubah kurang dari sepekan. Ia lantas mengumumkan perubahan kebijakan, harga migor dilepas ke mekanisme pasar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto