Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan strategi transisi energi rendah karbon di Indonesia adalah dengan memanfaatkan teknologi agar energi fosil tersebut menjadi lebih ramah lingkungan.
"Indonesia memilih agar energi fosil tidak phase out dengan mengimplementasikan teknologi bersih," ujar Satya dalam diskusi virtual, Kamis (7/4/2022).
Baca Juga: Kejar Target NZE 2060, DEN Berencana Revisi RUEN 2017
Satya mengatakan, keputusan Indonesia untuk tidak meninggalkan energi fosil hampir selaras dengan beberapa negara penghasil fosil, salah satunya Arab Saudi.
Menurutnya, saat ini Indonesia sedang mencoba untuk menggunakan teknologi bersih dalam memanfaatkan energi fosil baik itu batu bara maupun minyak bumi.
Dengan begitu perlu penerapan teknologi berupa penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon atau CCS/CCUS. Namun, ia mengungkapkan nilai keekonomian CCS/CCUS kini masih terbilang mahal lantar teknologi ini masih tergolong baru.
Lanjutnya, ia menjelaskan total emisi karbondioksida di Indonesia berada pada angka 1,2 gigaton dengan 35 persen disumbang dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Menuju Indonesia Net Zero Emission, Pemerintah Percepat Pensiun Dini PLTU di 2056
"Teknologi CCUS yang dipakai akan mengurangi emisi karbon yang dilepas ke atmosfer melalui teknologi pemanfaatan emisi karbon untuk produksi alga maupun injeksi Enhance Oil Recovery (EOR)," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut teknologi itu dapat meningkatkan biaya produksi secara signifikan tetapi masih bisa bersaing dengan pembangkit listrik panas bumi, sehingga memerlukan insentif dan dukungan kebijakan dari pemerintah.
Dengan adanya penambahan teknologi CCS pada PLTU dapat meningkatkan biaya produksi listrik 3-4 dolar AS per kWh. Sedangkan penggunaan sistem penyimpanan energi berbasis baterai atau BESS dapat meningkatkan biaya produksi listrik 6- 7 dolar AS per kWh.
Baca Juga: Dukung Percepatan Target EBT, PLTU Ini Manfaatkan Limbah Sawit Sebagai Bahan Bakar
"Ini menggambarkan saja, mudah-mudahan teknologi CCS ke depan akan lebih murah. Kalau sekarang masih di kisaran 100 dolar AS per ton, namun beberapa penelitian di Amerika Serikat ingin menekankan sampai 40 dolar AS per ton," ungkapnya.
Meski pemerintah Indonesia tegas menyatakan sikap untuk tetap memakai batu bara sebagai salah satu sumber energi domestik, namun pemerintah terus berupaya mempercepat pengembangan energi baru terbarukan, berupa pemanfaatan kendaraan listrik, sistem baterai, hidrogen, hingga dimetil eter.
Satya mengungkapkan strategi transisi energi rendah karbon yang kini dijalankan oleh pemerintah Indonesia memerlukan smart grid dan konservasi energi dengan tetap menekankan efisiensi.
"Apabila kita bisa melakukan skenario besar seperti ini, maka tujuan kita untuk ketahanan dan kemandirian energi, pembangunan berkelanjutan dan pembangunan rendah karbon, serta ketahanan iklim akan tercapai," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Aldi Ginastiar