Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Salah Sasaran Perang Melawan Sampah Plastik

        Salah Sasaran Perang Melawan Sampah Plastik Kredit Foto: Antara/Dedhez Anggara
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sudah tepatkah penanganan sampah plastik di Indonesia saat ini? Pertanyaan ini terus mengemuka karena persoalan sampah plasti yang masih berliku penyelesaiannya. Sejumlah kepentingan belum dapat disatukan.

        Di satu pihak ada entitas bisnis besar yang ingin terus berusaha dengan tenang, di pihak lain ada pemerintah yang mengeluarkan regulasi dan memiliki kewajiban melindungi konsumen serta menjaga lingkungan dari polutan plastik.

        Ada pula masyarakat selaku konsumen yang selayaknya bisa berperan sebagai bagian dari solusi timbulan sampah plastik, dan bukan sebaliknya sebagai bagian dari masalah.

        Reputasi Indonesia sebagai negara produsen sampah plastik telah mendunia, karenanya persoalan sampah plastik ini harusnya menjadi masalah kolektif yang harus dicarikan solusinya bersama.

        Ribut-ribut penggunaan galon plastik berbahan kimia berbahaya dan galon sekali pakai yang mencuat belakangan ini, jadinya malah mengaburkan persoalan yang lebih besar, yaitu bagaimana mengatasi timbulan sampah plastik yang akhirnya jadi polutan di daratan dan lautan di Indonesia.

        Di laut, sampah plastik terbukti menjadi ancaman besar pada ekosistem laut, kesehatan publik, bisnis perikanan  dan tentu saja sektor turisme.

        “Plastik bukanlah musuh kita. Kalau ada kampanye mengatakan ‘Say No to Plastic’, itu adalah kampanye yang salah,” kata Firdaus Ali, pakar sumber daya air dan pendiri Indonesian Water Institute (WI), dalam sebuah webinar di Jakarta. “Persoalannya baru timbul apabila plastik dibuang ke lingkungan dan berakhir di badan air, inilah yang menjadi musuh bersama. Jadi yang salah adalah tindakan-tindakan primitif kita, sehingga plastik jadi persoalan lingkungan.”

        Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun, di mana sebanyak 5 persen, atau 3,2 juta ton, adalah sampah plastik.

        Dari angka fantastis 3,2 juta ton timbulan sampah plastik itu, produk air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah sampah AMDK gelas plastik.

        Secara kasat mata, selain volume timbulan sampah, air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter terbukti sangat sulit untuk dikumpulkan, terlihat berceceran di mana-mana dan mengotori lingkungan.

        Timbulan sampah gelas plastik ukuran mini ini sangat berpotensi menjadi polutan. Karenanya, produsen didorong untuk memproduksi botol plastik yang lebih besar (size up). “Kemasan yang kecil-kecil, khususnya yang dirancang sekali pakai dan tidak bisa diguna ulang, potensi jadi sampah atau polutannya sangat tinggi dibanding kemasan berukuran besar.

        Apalagi jenis plastiknya tidak bisa didaur ulang, maka sudah pasti jadi sampah karena tidak laku,” kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah , Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ujang Solihin Sidik, dalam webinar yang sama.

        "Makanya kita dorong ukurannya diperbesar dalam konteks pengumpulan kembali (produk guna ulang). Dalam konteks industri daur ulang, ukuran itu menjadi penting,"

        Sampah air minum dalam kemasan gelas plastik, termasuk penutup, sedotan, dan pembungkus sedotannya, terbukti menimbulkan persoalan besar bagi lingkungan, sebab tidak ada nilainya untuk didaur ulang.

        Ekonomi sirkular, seperti disinggung Ujang Solihin Sidik, dapat berkembang baik di Indonesia apabila sampah plastik bisa didaur ulang.

        Sayangnya, hal ini belum bisa dicapai karena timbulan sampah plastik yang ada belum cukup memadai, sehingga Indonesia justru mengimpor bahan baku sampah plastik untuk kebutuhan daur ulang.

        Sebagai ilustrasi besarnya sampah plastik tak bernilai ekonomi yang berserak tanpa kontrol, bisa dilihat dari hasil brand audit yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat Sungai Watch di Bali, pada 2021.

        Sungai Watch mempublikasikan 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali, di antaranya Danone Aqua, Wings Surya, Orang Tua Group, Santos Jaya Abadi, Unilever, Indofood, Mayora Indah, Coca-cola, Garuda Food, dan Siantar Top.

        Dua tahun berturut, Sungai Watch juga menyebut secara gamblang bahwa perusahaan yang paling banyak menyampah di Bali adalah Danone Aqua dengan total sampah plastik 27.486 item atau 12 persen dari total sampah plastik yang dianalisis.

        Berdasarkan laporan Sungai Watch, sampah plastik Danone Aqua berasal dari sampah plastik air minum dalam kemasan gelas (14.147 item) dan botol (12.352 item).

        Sejauh ini, Danone Aqua diketahui menguasai pasar AMDK gelas dan botol plastik. Dari perkiraan total produksi 5,13 miliar gelas dan 2,7 miliar botol per tahun, Danone Aqua menyumbang masing-masing 587 juta gelas (11 persen) dan 1,3 miliar botol (49 persen).

        Pemerintah melalui KLHK sebenarnya sudah memiliki strategi untuk mengurangi sampah plastik industri melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah, di mana  semua produsen didorong untuk menyusun road map pengurangan sampah dengan target pengurangan 30 persen  timbulan sampah per Desember 2029.

        Peraturan ini juga mendorong industri untuk stop produksi (phase-out) air minum kemasan ukuran di bawah 1 liter dan juga kemasan saset di bawah 50 mililiter. Respons pihak industri  masih belum memadai, karena sejauh ini baru terbatas ada 33 perusahaan yang sudah mengirimkan dokumen komitmen pengurangan sampah plastik hingga 2029.

        Kurangnya respons pengusaha ini ditengarai  karena produk kemasan mini masih jadi primadona yang laris di pasar, meskipun berperan besar merusak lingkungan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: