Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Isu Harga BBM Subsidi Bakal Naik, Bisa Picu Inflasi hingga Sengsarakan Rakyat

        Isu Harga BBM Subsidi Bakal Naik, Bisa Picu Inflasi hingga Sengsarakan Rakyat Kredit Foto: Antara/Rony Muharrman
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ramainya komunikasi publik terkait rencana untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan informasi yang beredar di media sosial bahwa harga Pertalite per liternya naik Rp2.350, menjadi Rp10.000 per liter.

        Sementara itu, berdasarkan laman resmi Pertamina, MyPertamina, harga Pertalite di seluruh pelosok negeri, masih dihargai Rp7.650 per liter.

        Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan besarnya beban APBN untuk subsidi energi semakin membengkak hingga mencapai Rp502,4 triliun. Bahkan bisa mencapai di atas Rp600 triliun jika kuota Pertalite ditetapkan sebanyak 23 ribu kiloliter hingga akhirnya jebol.

        Baca Juga: Harga BBM Diprediksi Naik, Ibu-Ibu Wajib Baca Ini untuk Atur Keuangan Rumah Tangga

        Namun, opsi kenaikan harga BBM subsidi bukanlah pilihan yang tepat saat ini. Pasalnya kenaikkan harga Pertalite dan Solar, yang proporsi jumlah konsumennya di atas 70 persen, sudah pasti akan menyulut inflasi, apalagi kenaikkan Pertalite hingga mencapai Rp10.000 per liter. 

        Hal tersebut tak terlepas dari kontribusi terhadap inflasi yang diperkirakan mencapai 0.97 persen, sehingga inflasi tahun berjalan bisa mencapai 6,2 persen yoy. Inflasi sebesar itu akan memperpuruk daya beli dan konsumsi masyarakat sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4 persen.

        "Agar momentum pencapaian ekonomi itu tidak terganggu. Pemerintah sebaiknya jangan menaikkan harga Pertalite dan Solar pada tahun ini," ujar Fahmy dikutip Sabtu (20/8/2022).

        Fahmy menyebut sebaiknya pemerintah fokus pada pembatasan BBM bersubsidi, yang sekitar 60 persen tidak tepat sasaran. Menurutnya, pelaksanaan pendataan melalui MyPertamina tidak akan efektif membatasi BBM agar tepat sasaran. 

        Bahkan, menurutnya, bisa menimbulkan ketidakadilan dengan penetapan kriteria mobil 1.500 CC ke bawah yang berhak mengunakan BBM subsidi. Pembatasan BBM subsidi paling efektif pada saat ini adalah menetapkan kendaraan roda dua dan angkutan umum yang berhak menggunakan Pertalite dan Solar. 

        "Di luar sepeda motor dan kendaraan umum, konsumen harus menggunakan Pertamax ke atas. Pembatasan itu, selain efektif juga lebih mudah diterapkan di semua SPBU," ujarnya. 

        Untuk itu, kriteria sepeda motor dan kendaraan umum yang berhak menggunakan BBM subsidi segera saja dimasukan ke dalam Perpres Nomor 191/ 2014 sebagai dasar hukum. 

        "Ketimbang hanya melontarkan wacana kenaikan harga BBM subsidi, pemerintah akan lebih baik segera mengambil keputusan dalam tempo sesingkatnya terkait solusi yang diyakini pemerintah paling tepat tanpa menimbulkan masalah baru," tutupnya.

        Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite harus benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah. 

        "Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022?" ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Sabtu (20/8/2022).

        Bhima mengatakan jika pemerintah menaikkan harga BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar, maka masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak. Pasalnya, jika mereka sebelumnya mampu membeli Pertamax, namun sekarang mereka migrasi ke Pertalite. Maka dari itu, jika harga Pertalite  ikut naik, maka kelas menengah akan mengorbankan belanja lain. 

        "Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin. Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," ujarnya.

        Lanjutnya, jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi. Imbasnya bisa 3-5 tahun pemulihan ekonomi terganggu akibat daya beli turun tajam. 

        Sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi kan baru Rp88,7 triliun berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita. Sementara APBN sedang surplus Rp106,1 triliun atau 0,57% dari PDB di periode Juli.

        "Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," ungkapnya.

        Bhima menilai solusi terbaik adalah pemerintah perlu melakukan revisi aturan untuk menghentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan, dan perkebunan besar. 

        "Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi. Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis pertalite," tutupnya.

        Sebabkan Inflasi tinggi

        Rencana pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan solar harus ditahan terlebih dahulu guna menjaga inflasi tetap berada pada target yang ditetapkan oleh pemerintah.

        Ekonom Centre of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan seharusnya pemerintah bisa untuk sementara waktu menahan agar tidak menaikkan harga BBM mengingat langkah menaikkan harga BBM berpeluang besar untuk kemudian berdampak terhadap kenaikan inflasi. 

        "Hal ini tentu akan berdampak terhadap beragam hal yang pertama prakiraan target inflasi yang ditetapkan pemerintah berpeluang tidak tercapai, artinya inflasi yang ditetapkan pemerintah berada di kisaran 3 plus minus 1 akan lebih tinggi dari itu," ujar Yusuf saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Sabtu (20/8/2022).

        Yusuf menilai kenaikan inflasi yang cukup tinggi seperti mencapai di atas 5 persen, akan berpotensi terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok kelas menengah ke bawah dan juga berpotensi terhadap potensi kenaikan jumlah penduduk miskin di tahun ini. 

        "Sehingga hal ini yang kemudian perlu dijadikan pertimbangan oleh pemerintah sebelum memutuskan menaikkan harga BBM subsidi," ujarnya.

        Yusuf melihat keputusan untuk menaikkan harga BBM di dalam negeri tentu pemerintah perlu melihat urgensi dan kemampuan dari pemerintah itu sendiri. Kalau melihat dari urgensi memang saat in, harga minyak mengalami kenaikan yang tinggi sehingga berdampak terhadap harga acuan ICP yang juga mengalami peningkatan. Peningkatan ini tentu berdampak terhadap harga jual yang lebih tinggi. 

        "Akibatnya pemerintah perlu menanggung beban yang lebih tinggi mengingat asumsi harga minyak yang ditetapkan sebelumnya jauh di bawah prakiraan proyeksi harga minyak global yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga ini tentu dilihat pemerintah sebagai suatu alasan untuk mempertimbangkan menaikkan harga minyak," ungkapnya.

        Namun, jika dilihat dari kesanggupan sebenarnya pemerintah juga telah menyampaikan akan menambah biaya kompensasi BBM dalam mengantisipasi kenaikan harga minyak global saat ini dan untungnya dari sisi APBN masih cukup mumpuni untuk menanggung beban kenaikan subsidi BBM dan juga kompensasi kenaikan harga minyak global saat ini.

        "Artinya, kalau pun anggaran subsidi membengkak seperti misalnya yang disampaikan pemerintah mencapai Rp500 triliun pada dasarnya APBN masih punya kekuatan untuk menopang kenaikan tersebut. Apalagi kita tahu selama semester pertama APBN dari sisi penerimaan mengalami surplus ditopang oleh pertumbuhan penerimaan negara yang tumbuh signifikan," tutupnya. 

        Tidak Diperlukan Fatwa

        Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar abbas menyebut bahwa tidak diperlukan fatwa khusus terkait penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi jenis Pertalite dan Solar.

        Anwar mengatakan hal tersebut karena semuanya telah terdapat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 di mana Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

        "Jadi, konstitusi kita sudah memberikan amanat kepada pemerintah kalau akan membuat kebijakan, maka pemerintah jangan membuat kebijakan yang akan menyusahkan dan atau menyengsarakan rakyat, tapi kebijakan yang akan dibuatnya haruslah yang akan bisa membuat kehidupan rakyatnya menjadi lebih sejahtera," ujar Anwar saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (26/8/2022).

        Anwar mengatakan, menyangkut masalah harga Pertalite dan Solar, apakah akan dinaikkan atau tidak terserah kepada pemerintah, tapi di dalam Islam ada satu kaidah yang sangat dikenal, yaitu thasarruful imam 'alar ro'iyyatin manuthun bilmashlahah.

        "Artinya setiap kebijakan dan tindakan yang dibuat oleh imam atau pemerintah haruslah diorientasikan bagi terciptanya kemashlahatan," ujarnya.

        Menurutnya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan menaikkan harga Pertalite dan Solar tersebut memang akan bisa menciptakan kemashlahatan di tengah-tengah masyarakat atau tidak.

        Untuk itu, kata dia, dalam hal ini pemerintah hendaknya benar-benar bisa mengkaji dengan baik masalah yang ada dengan memperhatikan keadaan ekonomi rakyat.

        "Karena kalau seandainya pemerintah membuat kebijakan tentang masalah BBM ini tidak sesuai dengan yang seharusnya, maka tidak mustahil kebijakan ini akan mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat dan hal itu tentu tidak kita inginkan," ujarnya. 

        Lebih Baik Berantas Korupsi

        Anwar Abbas meyakini saat ini pemerintah sudah hampir bisa dipastikan akan menaikkan harga kedua jenis BBM tersebut ketimbang mempertahankannya.

        Hal tersebut terjadi lantaran harga keekonomian solar dan pertalite saat ini sudah di atas Rp17 ribu per liter, sementara harga yang dibayar oleh masyarakat hanya Rp7.650 untuk pertalite dan Rp5.150 untuk solar.

        "Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung tentu akan bermakna besaran subsidi yang akan diberikan oleh APBN akan mencapai angka sebesar Rp502,4 trilliun. Kalau uang sebesar itu kata Menkeu  dimanfaatkan untuk kepentingan lain, maka tentu banyak hal yang bisa dilakukan," ujar Anwar saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (29/8/2022).

        Anwar menyebut bahwa Menteri Keuangan telah mencoba mengilustrasikannya dengan mengatakan  bahwa dengan dana sebanyak itu, tentu akan bisa membagun 3.333 rumah sakit atau membangun 227.886 sekolah dasar (SD) dengan biaya per SD-nya sebesar Rp2,19 miliar, atau untuk membuat  jalan tol, maka dana sebesar itu tentu akan bisa membangun ruas tol sepanjang 3.501 km. 

        Menurutnya, yang menjadi pertanyaan kenapa pemerintah lebih sibuk mengurusi masalah mencabut atau mengurangi subsidi BBM agar APBN tidak jebol, bukankah dengan mencabut subsidi tersebut. Pasalnya akan memicu terjadinya inflasi dan akan mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat. 

        "Apakah tidak ada cara lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah? Saya rasa masih ada cara dan sisi lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah tanpa mencabut atau mengurangi subsidi yaitu dengan menutup kebocoran anggaran yang ada," ujarnya. 

        Lanjutnya, ada beberapa ekonom yang pernah mengutarakan tingkat kebocoran anggaran itu mencapai sekitar 30 persen. Jadi kalau kebocoran ini bisa ditutup, maka pemerintah akan mendapatkan dana yang besar dengan asumsi 20 persen dari anggaran yang bocor atas APBN 2022 yang sebesar Rp3.106 triliun, maka pemerintah akan punya dana yang bisa dikelola sebesar Rp621,2 triliun. Angka ini jelas jauh lebih besar dari jumlah subsidi yang ada, yaitu Rp502,4 triliun. 

        "Jadi jika pemerintah bisa melakukan hal ini maka pemerintah tidak perlu pusing-pusing dengan masalah subsidi BBM yang akan menggerus APBN tersebut karena hal itu sudah bisa ditutup dari dana APBN yang bisa terselamatkan sehingga kalau Menkeu bisa membuat ilustrasi maka kita juga bisa membuat ilustrasi lain di mana kalau kebocoran APBN ini bisa ditutup, maka kita juga akan bisa  membuat ruas jalan tol yang lebih panjang dan membuat rumah sakit serta sekolah dasar yang jauh lebih banyak dengan dana yang didapat bukan dari pemotongan atau pengurangan subsidi tapi dari usaha keras pemerintah karena berhasil menutup kebocoran APBN dari tindak tidak terpuji yang dilakukan oleh para koruptor," ucapnya. 

        "Pertanyaannya mengapa pemerintah tampak lebih sibuk mengurusi penghapusan atau pengurangan subsidi ketimbang mengurusi bagaimana caranya supaya bisa menutup kebocoran anggaran negara karena praktik korupsi? Tentu jika mereka masih punya hati nurani, telah dan sudah tahu jawabannya," imbuhnya.

        Kucurkan Stimulus

        Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai jika pemerintah ingin melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar, maka harus ada beberapa tindakan yang diambil. Salah satunya adalah pemerintah perlu memberikan stimulus tambahan bagi masyarakat yang terdampak atas kenaikan harga BBM subsidi.

        "Tinggal pemerintah harus memberikan stimulus tambahan bagi masyarakat terdampak. Misalnya dengan memberikan BLT atau kebijakan lain bagi masyarakat rentan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19," ujar Mamit saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Sabtu (20/8/2022).

        Mamit menilai kenaikan tersebut pasti akan berdampak terhadap daya beli masyarakat. Hal ini disebabkan akan ada kenaikan harga barang serta harga jasa yang harus dibayarkan oleh masyarkat. 

        Selain itu, kenaikan ini bisa memberikan dampak sosial di masyarakat yang berakibat bisa mengganggu iklim investasi di Indonesia. 

        Lanjutnya, dengan kondisi seperti itu, maka akan ada aksi penolakan yang dilakukan oleh elemen masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah bisa mengendalikan dari dampak sosial tersebut. Apakah bisa segera diamankan atau akan berkelanjutan.

        "Tuntutan kenaikan upah pasti akan terjadi seiring meningkatnya beban ekonomi yang harus ditanggung. Jadi semua kita kembalikan kepada pemerintah apakah siap dengan kondisi tersebut. Kenaikan ini pastinya akan memberikan ruang fiskal bagi pemerintah dalam mengatur keuangan APBN kita," ujarnya.

        Meski begitu, ia setuju dengan rencana pemerintah dalam menyesuaikan harga BBM subsidi akibat besarnya disparitas harga yang terjadi.

        "Untuk harga yang pas saya kira jika benar-benar dinaikkan ada di angka Rp10 ribu per liter untuk Pertalite dan Solar subsidi di angka Rp8.500 per liter. Kenaikan ini buat saya cukup rasional dan tidak terlalu membebani bagi masyarakat. Inflasi saya kira tidak akan terlalu tinggi karena kenaikan ini. Mudah-mudahan masih di bawah 1% dari kenaikan BBM subsidi ini," tutupnya.

        Kebijakan Tepat

        Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai rencana pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi telah tepat dan tidak terelakkan.

        "Rencana Pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM Subsidi sudah tepat dan tidak terelakkan, sebagai dampak dari kenaikan harga minyak mentah dunia," ujar Mamit saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Sabtu (20/8/2022).

        Mamit menyebut kenaikan harga BBM tersebut tak terlepas dari lonjakan harga minyak dunia yang tinggi jika dibandingkan dengan beberapa tahun ke belakang. Adanya lonjakan tersebut membuat beban keuangan negara sangat berat terkait dengan beban subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan kepada badan usaha.

        "Melalui kenaikan ini dapat mengurangi beban subsidi energi yang saat ini sangat tinggi. Sudah cukup saatnya kita membakar uang kita di jalan," ujarnya.

        Mamit menilai, daripada pemerintah memberikan subsidi yang tidak tepat sasaran pada sektor energi, lebih baik mengalihkan kepada beberapa sektor lainnya yang lebih membutuhkan dan tepat pada yang membutuhkan.

        "Seharusnya subsidi bisa dialihkan secara langsung kepada masyarakat miskin dan sektor lain yang membutuhkan (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya)," ujarnya.

        Lanjutnya, penyesuaian harga BBM subsidi juga dapat mengurangi disparitas harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi. Selain itu, subsidi BBM sebaiknya tetap harus diatur penggunaannya dan ditujukan untuk masyarakat yang berhak.

        "Terkait BBM subsidi, Pertamina merupakan operator yang menjalankan kebijakan dari pemerintah (penentu harga adalah pemerintah), namun harus diimbangi dengan ketersediaan BBM di SPBU sehingga tidak terjadi kelangkaan atau antrean yang cukup panjang," tutupnya.

        Menyengsarakan Rakyat Kecil

        Rencana pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Bio Solar dikeluhkan oleh asosiasi pengusaha warteg.

        Ketua Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni merasa keberatan jika pemerintah benar akan menyesuaikan harga BBM subsidi.

        "Kami tentunya keberatan karena daya beli masyarakat bawah, warteg masih belum normal untuk pelanggan," ujar Mukroni saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (22/8/2022).

        Mukroni mengatakan, bilamana harga BBM naik, maka secara otomatis akan mengerek harga bahan pangan yang saat ini sudah mengalami inflasi yang tinggi.

        "Kalau naik, bahan pangan akan terkerek naik. Sementara inflasi pangan sudah cukup tinggi," ujarnya.

        Menurutnya, untuk manaikkan harga BBM, pemerintah perlu menaikkan pendapatan masyarakat Indonesia, pertumbuhan ekonomi ditingkatkan, dan perlu waktu.

        "Tidak dalam kondisi yang belum pas ketika rakyat masih stagnan di penerimaan pendapatan, kurang pas momennya untuk menaikkan harga BBM," tutupnya.

        Arif (28) yang setiap harinya melakukan perjalanan untuk menuju kantornya di kawasan Cikini mengaku berat dengan kondisi yang ada saat ini, ditambah dengan adanya wacana akan penyesuaian harga Pertalite.

        "Kita lagi cukup susah ini, kalau buat beli bensin malah dimahalin lagi. Enggak usah (naik) dululah, tahun-tahun depan saja kalau mau naik, pendapatan (kami) lagi tipis ini, mau akhir bulan, kemarin habis masuk anak sekolah, pengeluaran gila-gilaan," ujar Arif saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (22/8/2022).

        Arif menyebut wacana tersebut membuat masyarakat semakin tertekan di tengah lonjakan beberapa harga bahan pokok seperti minyak dan telur ayam.

        "Nanti dulu deh kalau (BBM) mau naik, saya benar-benar deh enggak sepakat," ujarnya.

        Ditemui secara terpisah, salah satu driver ojek online, Rahman (32) mengaku berat bilamana nanti harga Pertalite benar-benar akan disesuaikan oleh pemerintah.

        "Berat dong kalau (BBM) harus naik juga. Kita-kita sekarang saja bingung antre Pertalite panjang banget, waktu abis di antre beli bensin," ujarnya.

        Menurutnya, jika ingin beralih ke Pertamax juga akan sangat berat mengingat harga yang terlampau jauh dan hampir dua kali lipat dari harga Pertalite.

        "Ini ngaruh sama pendapatan kami. Antre sekarang beneran ngabisin waktu, lumayan bisa dapat satu order-an. Pemerintah pastikan dulu deh ketersediaannya di SPBU, biar enggak antre, tangki-tangkinya banyakin dah tuh buat kita-kita ojol," ujarnya.

        "Mending entar dulu saja kalau mau naikkan Pertalite. Kita-kita ojol juga perhatikan dong. Mana tarif juga kan belum jadi naik nih, walaupun enggak seberapa juga," tambahnya.

        Pertamina Belum Ambil Keputusan

        Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menyebut bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menaikkan atau menyesuaikan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite.

        "Sementara kami masih menunggu arahan dari pemerintah karena penentuan harga merupakan kewenangan dari regulator," ujar Irto saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (19/8/2022).

        Irto mengungkapkan, terkait dengan penentuan harga BBM, dalam hal ini BBM jenis Pertalite, merupakan wewenang dari regulator.

        "Bukan Pertamina dong (penentuan harga Pertalite)," ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: